Kelas XI; BHINEKA TUNGGAL IKA

Unit 1

Kita dan Masyarakat Global

Tujuan Pembelajaran

Pada unit ini, kalian diharapkan mampu menjelaskan kedudukan kita, sebagai bangsa Indonesia, dalam konteks masyarakat global.Kalian juga dapat menjelaskan tentang bagaimana globalisasi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia sekaligus bagaimana tiap-tiap dari masyarakat itu turut membentuk identitas masyarakat global.

Era globalisasi telah membawa manusia pada satu tahap peradaban yang cukup maju.Masa ini ditandai oleh berbagai penemuan baru dan kemajuan di berbagai bidang.Bagi umat manusia, perkembangan pesat ini sangat menguntungkan.Betapa tidak, mereka cukup terbantu karena dipermudah dalam berbagai hal.Batas-batas geografis bukan lagi menjadi penghalang, karena akses informasi bisa didapatkan sedemikian mudah.

Berbagai perubahan yang menyertai era globalisasi ini, pada gilirannya juga mem- berikan pengaruh pada cara pandang manusia terhadap kehidupan alam semesta. Nilai, norma, dan pola hidup berubah teramat cepat dan menjadi tatanan baru. Tatanan itulah yang pada akhirnya menjauhkan manusia dari kepastian nilai yang berpuluh-puluh tahun lamanya ia pegang.

Dari sini, muncullah perdebatan-perdebatan mengenai bagaimana cara menyikapi era globalisasi ini. Karena bagaimanapun juga, globalisasi beserta masalah yang ditimbulkannya merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, sebagai bagian dari dinamika sejarah hidup manusia. Tentunya, dibutuhkan cara yang lebih arif dalam menyikapi berbagai keruwetan era globalisasi ini.

Globalisasi berasal dari kata globalization.Global berarti mendunia, sementara ization adalah prosesnya. Dalam Encyclopaedia Britannica (2015) disebutkan kalau fenomena ini bukanlah situasi yang baru, karena banyak kerajaan maupun gerekan keagamaan yang telah menjalani proses globalisasi. Secara sederhana, kita bisa memaknai globalisasi ini sebagai proses masuknya ke ruang lingkup dunia (KBBI).

Banyak faktor yang mendorong terjadinya globalisasi.Perkembangan teknologi informasi dan transportasi adalah di antaranya. Dengan teknologi dan transportasi yang semakin canggih, transaksi dalam bidang ekonomi antarnegara menjadi sangat

mudah. Pengiriman barang dan jasa bisa dengan sangat mudah dilakukan.Inilah salah satu dampak positif dari globalisasi.Dampak positif lainnya adalah pengembangan ilmu pengetahuan, terjalinnya hubungan antarwarga dunia, informasi yang sedemikian mudah diakses, dan aspek-aspek lainnya.

Selain berdampak positif, ada juga akibat negatif dari fenomena ini. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, di satu sisi, memberi kemudahan bagi publik dalam mengakses informasi, mengembangkan segenap potensinya serta tuntutan perjuangan hidupnya, tapi di sisi lain, ia telah menjadi instrumen negara-negara industri maju dan kekuatan elit minoritas pemilik modal guna melakukan hegemoni dan dominasinya atas kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. (Korten, 2015)

Kekuatan ekonomi yang raksasa bergerak melampaui batas-batas teritorial suatu negara guna melakukan ekspansi ekonomi di berbagai pelosok dunia. Kenyataan inilah yang memberikan dampak akan semakin melemahnya posisi kekuatan ekonomi lokal. Dalam ranah budaya, hegemoni ini tampak dalam penciptaan pola hidup konsumeristik dan pop culture, yang memposisikan manusia sebagai objek distribusi produksi belaka.

Kita merasakan bahwa kebudayaan luhur mulai mendapatkan tantangan dari budaya baru.Konsumerisme, hedonisme, serta pudarnya tata krama mulai terasa. Kehidupan pertanian perlahan-lahan mulai ditanggalkan, karena pada saat yang sama, masyarakat kita bergerak menjadi masyarakat industri.

Ada tiga respon yang bisa diberikan oleh sebuah kelompok terhadap fenomena globalisasi ini.Pertama, kelompok rejeksionis yang menolak mentah-mentah segala bentuk produk pemikiran era globalisasi.Kelompok ini percaya bahwa yang berbau asing harus ditolak, karena tidak sesuai dengan jati diri serat kepribadian bangsanya. Sikap ini sembari dibarengi dengan sikap superior atau mengakui bahwa hanya kebudayaannya saja yang paling adiluhung, sementara yang lain lebih rendah.

Kelompok kedua, adalah mereka yang menerima segala bentuk produk globalisasi dengan tidak pernah melakukan filter terhadapnya.Ini kebalikan dengan sikap kelompok pertama. Mereka menerima tanpa filter nilai, budaya, serta tradisi yang datang dari luar kebudayaannya.

Sementara yang ketiga adalah mereka yang memilih untuk bersikap adaptif, tidak menampik tetapi juga tidak menerimanya begitu saja. Dengan kata lain, ada proses seleksi untuk memilih dan memilah produk mana yang sesuai dengan nafas kehidupan bangsa sembari melakukan refleksi kritis terhadap segala hal yang merupakan bentukan dari masa ini.

Seperti halnya masyarakat dunia yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan kita, begitupun juga sebaliknya.Kehidupan kita sebagai sebuah bangsa turut membentuk identitas masyarakat dunia.Apa yang kita miliki (nilai, tradisi, budaya dan lainnya) menjadi bagian dari kekayaan kebudayaan dunia yang begitu kaya. Di antara kebudayaan itu, semuanya memiliki keunggulan dan kelebihannya.

Unit 2

Kolaborasi Budaya

Tujuan Pembelajaran ini;

Pada unit ini, kalian akan belajar menemukan manfaat kolaborasi budaya dan cara mengolaborasikan keragaman budaya Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara multikultural (majemuk) terbesar di dunia.Kemajemukan Indonesia dapat dilihat dari agama, budaya, bahasa, etnis, dan adat istiadat.Kemajemukan Indonesia tergambar dalam lambang negara Republik Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman Indonesia di satu sisi membawa berkah, tetapi di sisi lain dapat pula menjadi bencana. Keragaman dapat menjadi berkah jika dapat dikelola dengan baik.Ia dapat menjadi modal sosial (social capital) yang berharga bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya, dapat menjadi bencana jika tidak dapat dikelola dengan baik.Keragaman berpotensi menimbulkan konflik antarmasyarakat.Untuk itu, diperlukan berbagai upaya untuk melestarikan keragaman Indonesia agar dapat menjadi modal sosial sekaligus mencegah potensi konflik di tengah masyarakat Indonesia.Salah satunya adalah dengan melakukan kolaborasi budaya. Dengan adanya kolaborasi budaya, antara masyarakat satu dengan masyarakat lain yang berbeda budaya akan terjalin komunikasi lintas budaya.

Komunikasi lintas budaya adalah proses komunikasi yang melibatkan orang- orang yang berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda. Dengan kata lain, komunikasi lintas budaya merupakan komunikasi yang para pesertanya berlatar belakang budaya berbeda dan terlibat kontak antara satu dengan yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi lintas budaya ini diperlukan agar masyarakat mengenal budaya lain, sehingga muncul sikap saling menghargai perbedaan dan keragaman budaya sekaligus mengikis prasangka. Kolaborasi budaya ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti mengadakan pentas budaya dan kesenian secara bersama-sama yang melibatkan berbagai pihak.

Perhatikanlah gambar berikut ini!

Gambar di atas merupakan berita yang berisi tentang bentuk kolaborasi budaya dalam bidang seni rupa.Tentu saja selain dalam bentuk seni rupa, masih banyak sekali bentuk kolaborasi budaya yang ada.

  1. Menurut kalian mengapa kita perlu mengadakan kolaborasi budaya?
  2. Seperti apa bentuk kolaborasi budaya yang ada?
  3. Apa manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan kolaborasi budaya tersebut?

3.         Refleksi

Setelah mengikuti pembelajaran hari ini, silakan kalian melakukan refleksi. Untuk membantu merefleksikan aktivitas yang dilakukan, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

  1. Dari proses belajar hari ini, hal yang saya pahami adalah
  2. Dari proses belajar hari ini, hal yang belum saya pahami adalah/saya ingin mengetahui lebih dalam tentang …
  3. Dari proses belajar hari ini, hal yang akan saya lakukan dalam kehidupan sehari-hari adalah

4.         Aktivitas Belajar 2

Pada pertemuan sebelumnya kita telah berdiskusi tentang kolaborasi budaya yang ada di Indonesia. Ada 2 pertanyaan yang harus kalian jawab:

  1. Budaya apa saja yang dimiliki oleh bangsa Indonesia?
  2. Bagaimana cara menunjukkan budaya yang ada di Indonesia?

a.         Rancangan Proyek

  1. Kalian akan dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 7-10 peserta didik, dan meminta setiap kelompok menunjuk satu ketua kelompok.
  1. Berkumpullah dengan teman satu kelompokmu!
  2. Dengarkanlah penjelasan gurumu tentang proyek pembuatan Mading yang bertajuk “Potret Budaya Nusantara”.
  3. Setiap kelompok menunjuk 1 (satu) orang pemimpin redaksi (Pemred).
  4. Pemred memberikan tugas (job description) kepada setiap anggota kelompoknya untuk menjadi layouter, content writer, editor, dan illustrator.
  5. Setiap kelompok menyiapkan bahan yang akan digunakan untuk membuat Mading “Potret Budaya Nusantara”, seperti: kertas manila/asturo/styrofoam, spidol warna-warni, pensil, bolpoin warna-warni, penggaris, penghapus, dan sebagainya.

b.         Jadwal Pelaksanaan Proyek

  1. Pembuatan Mading “Potret Budaya Nusantara” dilakukan selama 2 (dua) minggu, dengan timeline (alokasi waktu) sebagai berikut:
  2. Perencanaan: 1 hari
  3. Pencarian konten: 3 hari
  4. Layouting: 3 hari
  5. Penulisan konten: 4 hari
  6. Editing: 1 hari
  7. f )   Finishing: 1 hari
  8. Pemasangan Mading: 1 hari

c.         Pelaksanaan Proyek

  1. Berkumpullah dengan tim redaksimu untuk mendiskusikan Mading “Potret Budaya Nusantara” yang akan dibuat!
  2. Carilah konten yang akan dimasukkan ke dalam Mading!
  3. Buatlah template/layout (tata letak) penulisan konten Mading!
  4. Tuliskan konten atau isi Mading “Potret Budaya Nusantara”!
  5. Periksalah kembali redaksi konten yang telah kalian tulis!
  6. Berilah hiasan pada Mading tersebut agar tampilan lebih menarik!
  7. Pasanglah Mading “Potret Budaya Nusantara” yang telah jadi untuk diletakkan atau dipajang di tempat-tempat yang strategis!

Ujian Pemahaman :

  1. Budaya apa saja yang di miliki bangsa Indonesia
  2. Bagaimana cara menunjukkan budaya yang ada di Indonesia?
  3. Menurut kalian mengapa kita perlu mengadakan kolaborasi budaya?
  4. Seperti apa bentuk kolaborasi budaya yang ada di Indonesia?
  5. Apa manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan kolaborasi budaya tersebut?

Unit 3

Interaksi Budaya Nusantara di Kancah Dunia

  1. Tujuan Pembelajaran

Pada bagian ini kalian akan belajar untuk ikut aktif dalam mempromosikan kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia, menghubungkan kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia menuju kancah dunia, dan mengutamakan produk-produk dalam negeri.

  • Aktivitas Belajar I

Globalisasi yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi membuat dunia seakan tidak berjarak (borderless).Globalisasi membuat batas teritorial negara seolah tidak ada lagi. Globalisasi membuat negara-negara di dunia menjadi semacam global village (desa buana), di mana satu negara dengan negara lain saling terhubung dan saling berinteraksi. Dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat maju, suatu peristiwa atau kejadian di suatu negara dapat diketahui secara cepat di belahan bumi lain. Perkembangan teknologi informasi dan juga transportasi meniscayakan seseorang atau sekelompok orang berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dari berbagai belahan dunia. Hal ini membawa konsekuensi adanya pertukaran budaya di kancah global (internasional).

Siapa pun orangnya tidak dapat lepas dari budaya tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan budaya yang mengakar di dalam dirinya, ia harus berbagi ruang dengan orang lain dari budaya lain. Pertukaran budaya tersebut sangat mungkin berpotensi menimbulkan konflik. Konflik dapat dicegah dengan munculnya kesadaran bahwa setiap orang harus mampu dan mau memahami budaya orang lain yang berbeda dengannya. Cara berkomunikasi sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya masing- masing.Oleh karenanya, dalam berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, dibutuhkan pemahaman lintas budaya (cross-cultural understanding).

Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia tentu saja tidak dapat menghindarkan diri dan menutup/mengisolasi diri dari bangsa dan negara lain. Perjumpaan dan interaksi dengan bangsa-bangsa lain merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa mana pun, termasuk Indonesia. Adanya globalisasi meniscayakan hilir mudiknya budaya lain dari satu negara ke negara lain sehingga berpotensi mempengaruhi budaya negara setempat. Tidak ada satu pun bangsa yang hidup tanpa pengaruh dari luar.

Sebagai bangsa yang besar, kita harus memiliki kelenturan budaya, sehingga mampu mengadaptasi budaya-budaya luar yang baik dan sesuai dengan jati diri bangsa.Berbagai budaya luar yang baik dan sesuai dengan jati diri bangsa dapat memperkaya nilai-nilai dan kearifan lokal bangsa Indonesia. Ketidakmampuan beradaptasi dengan budaya luar akan menjadikan Indonesia terperosok ke dalam kekerdilan identitas. Sebaliknya, terlalu terobsesi dengan budaya luar dan mengabaikan tradisi dan nilai-nilai lokal akan menjadikan Indonesia kehilangan identitas nasionalnya. Jika demikian yang terjadi, maka bangsa Indonesia tidak akan pernah mampu berdikari secara kultural dan menjadi diri sendiri. Sebagai bangsa yang besar, kita harus mampu bergaul secara global dengan bangsa dan negara lain tanpa kehilangan identitas keindonesiaan kita. Berpikir global bertindak lokal (think globally act locally) merupakan adagium dan sikap moderat yang tepat bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi globalisasi.

Melestarikan apa yang baik dan mengadopsi hal-hal yang lebih baik dari bangsa lain, merupakan sikap cerdas dan bijaksana. Sebaliknya, menolak atau meniru secara membabi buta apa saja dari luar, bukanlah sikap bijak. Tidak semua yang berasal dari luar itu baik dan juga tidak semua yang berasal dari luar itu buruk. Kita ambil yang baik dari mereka (baca: bangsa luar) sembari mempertahankan dan melestarikan tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia. Kendati setiap bangsa memiliki keunikan budaya dan tradisi masing-masing, tetapi tidak menutup kemungkinan bekerja sama dan berkolaborasi secara global untuk keadilan dan penciptaan dunia yang lebih aman dan manusiawi.

Unit 4

Merawat Tradisi Lokal dan Kebinekaan

  1. Tujuan Pembelajaran

Pada unit ini, kalian mampu menjelaskan tradisi lokal yang ada dalam masyarakat kita.Tak hanya menjelaskan, kalian juga diharapkan mampu menginventarisir berbagai bentuk kearifan tersebut serta dijadikan pegangan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.Kalian juga dapat menjelaskan tentang fungsionalisasi Pancasila sebagai pegangan dalam menghadapi kehidupan global.

  • Aktivitas Belajar 1

Masyarakat Kampung Naga Menjaga Kelestarian Alam

Kampung Naga berada di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.Sebagian besar masyarakatnya hidup sebagai petani.( ceritakan Budaya Daerah masing-Masing Siswa. …….

  • Uji Pemahaman

Untuk mengetahui sejauh mana pemahamanmu tentang unit ini, jawablah pertanyaan berikut:

  1. Apa tantangan yang dihadapi oleh generasi muda dalam upayanya melestarikan tradisi lokal? Cara apa yang bisa ditempuh agar tantangan tersebut bisa diatasi?
  2. Menurut kalian, masuknya berbagai kebudayaan asing ke Indonesia, apakah menjadi sebab lunturnya kecintaan generasi muda terhadap kebudayaan nusantara? Berikan penjelasan!
  3. Sebagai jati diri bangsa Indonesia, bagaimana caranya agar Pancasila bisa menjadi pegangan untuk berkolaborasi dengan tradisi atau budaya dari bangsa lain?

Unit 5

Stereotip, Diskriminasi, dan Bullying

  1. Tujuan Pembelajaran

Pada unit ini, kalian mampu mengkaji secara objektif kasus-kasus yang berpotensi merusak kebinekaan.Kasus tersebut bisa berupa peristiwa yang terjadi di sekitar lingkungan, dengan intensitas kecil atau besar.Kalian juga mampu menjelaskan mengapa peristiwa tersebut bisa dikategorikan diskriminasi.

  • Aktivitas Belajar I

Sebelum kalian membaca studi kasus, pahami dulu beberapa istilah penting dalam unit ini.

Stereotip

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Jumalis Walter Lippmann (1992), yang dimaknai sebagai the little pictures we carry around inside our head, di mana gambaran-gambaran tersebut merupakan skema mengenai kelompok. “Manstead dan Hewstonemendefinisikan stereotip sebagai societally shared beliefs about the characteristics (such as personality traits, expected behaviors, or personal values) that are perceived to be true ofsocial groups and their members” (keyakinan tentang karakteristik seseorang (seperti ciri kepribadian, perilaku, nilai pribadi) yang diterima sebagai kebenaran kelompok sosial.

Stereotip adalah proses kognitif, bukan emosional, sehingga ia tidak selalu mengarah kepada tindakan yang sengaja dilakukan untuk melecehkan. Stereotip ini seringkali digunakan untuk menyederhanakan dunia tanpa melihat perbedaan-perbedaan yang detail di dalamnya. Contohnya, seseorang akan terkejut jika menjumpai sopir taksi perempuan, karena profesi sopir taksi biasanya dijalankan oleh laki-laki.

Prasangka atau Prejudice

Penilaian yang telah dimiliki sebelumnya terhadap suatu kelompok dan masing-masing anggota kelompoknya.Pada dasarnya, prasangka bisa bersifat positif, bisa pula bersifat negatif.

Diskriminasi

Diskriminasi merupakan perilaku negatif atau membahayakan terhadap anggota kelompok tertentu semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Swim (dalam (Byrne, 1991) menyatakan bahwa diskriminasi adalah tindakan negatif terhadap orang yang menjadi obyek prasangka seperti rasial, etnik, agama, sehingga dapat dikatakan bahwa diskriminasi adalah prejudice in action.

Perundungan

Istilah “bully” dalam Bahasa Inggris bermakna menggertak atau menindas. Kata bullying ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan perundungan.Secara sederhana, perundungan merupakan segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan untuk menyakiti dan dilakukan secara terus menerus.Perundungan biasanya dibagi ke dalam 3 (tiga) jenis; fisik, verbal, dan mental.

Agar Diskriminasi Tak Ada Lagi

Tahun 1992, untuk pertama kalinya, Indonesia meraih medali emas pada perhelatan olahraga terbesar dunia, Olimpiade. Momen 4 tahunan yang ketika itu diselenggarakan di Barcelona, Spanyol, benar-benar membuat seluruh bangsa Indonesia berbangga. Kontingen Indonesia tidak hanya mendapatkan satu, tetapi dua medali emas.

Sepasang medali emas itu disumbangkan oleh atlit dari cabang Badminton yang memang menjadi andalan.Kelak, kedua penyumbang medali emas itu menjadi pasangan suami-istri.Mereka adalah Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Sejak keikutsertaan Indonesia di pentas Olimpiade pada 1948, baru tahun 1992 itulah negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia ini mendapatkan emas.

Namun, ada kisah tidak mengenakkan yang diterima oleh Susi dan Alan pada masa-masa itu bahkan mungkin hingga sesaat setelah reformasi.Sebagai warga keturunan Tionghoa, keduanya pernah mengalami masa sulit berkaitan dengan dokumen Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Dengan menunjukkan SBKRI, itu artinya, mereka seperti orang asing yang datang ke Indonesia dan akan menjalankan naturalisasi. Setiap warga Tionghoa disyaratkan harus memiliki SBKRI untuk mengurus segala jenis dokumen.

SBKRI menjadi dokumen penting, terutama bagi etnis Tionghoa, karena dengan itulah mereka baru bisa mengurus paspor dan bukti kewarganegaraan lainnya.Dan itu sekali lagi, hanya berlaku bagi kalangan etnis Tionghoa.Ini artinya bahwa sudah saatnya memutus lingkaran setan prilaku diskriminatif ini.

Jadi akar persoalan tentang diskriminasi ini adalah SBKRI. Tak heran ketika muncul peraturan yang esensinya menjelaskan bahwa berbagai kepentingan yang memerlukan bukti kewarganegaraan, cukup menggunakan KTP, Kartu Keluarga, atau Akta Kelahiran, ekspektasi akan hilangnya diskriminasi itu muncul ke permukaan.

Susi Susanti pernah berujar, ”kalau ’kami-kami ini’ (sejumlah olahragawan bermedali emas) bisa diperlakukan tidak adil begitu, bagaimana nasib orang- orang lain yang jauh lebih miskin dan kurang dikenal”. (Kompas 2/5/2004).

Angin segar kemudian berhembus saat pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1999 tentang Melaksanakan Ketentuan Keputusan Presiden Nomor 56 tahun1996 tentang bukti kewarganegaraan Republik Indonesia dan Instruksi Presiden nomor 26

tahun 1998, Direktorat Jenderal Imigrasi kemudian mengambil kebijakan untuk tidak mempermasalahkan lagi SBKRI bagi pemohon paspor dari kalangan etnik keturunan.

Sebagai gantinya, mereka cukup melampirkan Akta Kelahiran dan Kartu Tanda Penduduk serta Kartu Keluarga.Sekarang, fasilitasi terhadap kelompok Tionghoa sudah jauh lebih baik.Cerita yang berkaitan dengan diskriminasi terhadap kelompok ini, jikapun tetap masih ada, lebih banyak pada relasi horizontal. Reformasi birokrasi dan komitmen pemerintah jauh untuk memenuhi hak warganegaranya tanpa pandang bulu menjadi salah satu cara menghilangkan diskriminasi.

Ada hal menarik yang penting untuk ditarik pelajaran, terutama dari pasangan Alan dan Susi.Betapapun persoalan mendera, tetapi, mereka tak pernah luntur semangat nasionalisme.Mereka tidak berpikir untuk berpindah kewarganegaraan misalnya.Cara terbaik seperti yang ditunjukan keduanya adalah menunjukkan prestasi pada bidangnya masing-masing.

3.         Refleksi

Setelah mengikuti pembelajaran hari ini, silakan kalian melakukan refleksi. Untuk membantu merefleksikan aktivitas yang dilakukan, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:

  1. Dari proses belajar hari ini, hal yang saya pahami adalah
  2. Dari proses belajar hari ini, hal yang belum saya pahami adalah/saya ingin mengetahui lebih dalam tentang
  3. Dari proses belajar hari ini, hal yang akan saya lakukan dalam kehidupan sehari- hari adalah.

4.         Aktivitas Belajar 2

Indonesia merupakan negara yang majemuk.Kenyataan ini dapat dilihat dari keragaman suku, agama, suku, bahasa, dan budaya yang ada di Indonesia.Meski dikenal sebagai bangsa yang toleran, tetapi keragaman di Indonesia acapkali menimbulkan konflik dan gesekan sosial. Salah satu faktor yang melatarbelakangi konflik adalah mispersepsi dan prasangka sosial (social prejudice) terhadap kelompok lain. Untuk mengikis mispersepsi dan prasangka sosial diperlukan berbagai upaya. Salah satunya adalah dengan melakukan kunjungan dan dialog dengan tokoh masyarakat/adat/agama.

Oleh karena itu, kali ini kalian akan diajak untuk berkunjung ke tokoh masyarakat/ adat/agama yang ada di sekitar kalian dan mengadakan dialog dengan tokoh tersebut. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenalkan kita tentang keragaman Indonesia. Dengan mengenal berbagai keragaman yang ada, kita akan menyadari bahwa keragaman merupakan keniscayaan yang harus disyukuri dan dirayakan. Perbedaan dan kebinekaan harus diterima dengan lapang dada sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Selain itu, kegiatan ini diharapkan mampu mengikis diskriminasi dan stereotyping sehingga melahirkan sikap toleran dan menghargai kelompok masyarakat/adat/agama lain.

a.   Rancangan Proyek

  1. Kalian akan dibagi ke dalam 4 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 7-10 peserta didik.
    1. Tunjuklah salah satu orang menjadi ketua!
    1. Berkumpullah dengan teman satu kelompok kalian dan diskusikan pertanyaan yang akan diajukan kepada tokoh masyarakat/adat/agama! Materi/isi pertanyaan yang akan kalian ajukan kepada tokoh masyarakat/adat/agama harus diarahkan pada pentingnya menjaga persatuan dan menghargai perbedaan dalam kebinekaan seperti:
  2. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu tentang keragaman di Indonesia?
  3. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana menyikapi perbedaan dan kebinekaan?
  4. Bagaimana memupuk rasa persatuan di tengah kehidupan masyarakat yang beragam?
  5. Dengarkanlah penjelasan gurumu tentang aturan selama kunjungan dan dialog dengan tokoh masyarakat/adat/agama, seperti:
  6. Saat sesi dialog dan diskusi dengan tokoh masyarakat/adat/agama, kalian tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan yang merendahkan masyarakat/adat/agama lain.
  7. Kalian wajib menjaga sikap dan tata krama selama berkunjung ke tokoh masyarakat/adat/agama.
  8. Pastikan kesiapan moda transportasi ke tokoh masyarakat/adat/agama.
  9. Siapkan alat perekam dan kamera atau kertas dan bolpoin untuk mencatat dan mendokumentasikan hasil diskusi saat kunjungan ke tokoh masyarakat/ adat/agama.

b.   Jadwal Pelaksanaan Proyek

1)    Merancang proyek: 4 hari

2)    Pelaksanaan kunjungan dan dialog: 1 hari

3)    Penyusunan laporan: 3 hari

4)    Presentasi: 1 hari

Pelaksanaan Proyek

  1. Kunjungilah tokoh masyarakat/adat/agama yang ada di sekitarmu.
    1. Lakukanlah dialog dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang telah didiskusikan bersama teman-teman kelompok kalian kepada tokoh masyarakat/ adat/agama tersebut.
    1. Ambillah video atau gambar pada saat kalian berkunjung dan berdialog dengan tokoh masyarakat/adat/agama.
    1. Catatlah hal-hal penting sebagai bahan untuk penyusunan laporan.
    1. Setelah kegiatan kunjungan dan dialog dengan tokoh masyarakat/adat/ agama selesai, buatlah laporan sederhana mengenai kegiatan tersebut dengan ketentuan sebagai berikut:
  2. Laporan kegiatan kunjungan ke tokoh masyarakat/adat/agama dapat diketik komputer atau ditulis tangan sebanyak 5-10 halaman. Jika diketik komputer menggunakan 1,5 spasi, jenis huruf Times New Roman, dengan ukuran 12pt, margin 4-4-3-3.
  3. Sistematika laporan terdiri dari (1) judul kegiatan, (2) waktu dan tempat kegiatan, (3) uraian kegiatan, (4) pengalaman dan pembelajaran yang didapat dari kegiatan, (5) evaluasi kegiatan yang berisi tentang hal-hal apa saja yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan dari kegiatan tersebut,(6) dokumentasi (jika ada), dan (7) penutup.

d.   Presentasi Hasil

  1. Presentasikan laporan sederhana tentang kunjungan dan dialog ke tokoh masyarakat/adat/agama di depan kelas bersama teman-teman satu kelompok kalian!
    1. Berikan kesempatan kepada teman-teman kalian untuk bertanya dan memberikan pendapat tentang hasil laporanmu!
  1. Uji Pemahaman

Untuk mengetahui sejauh mana pemahamanmu tentang unit ini, jawablah pertanyaan berikut:

  1. Apakah yang kalian pahami tentang diskriminasi?
  2. Mengapa diskriminasi itu terjadi? Pernahkah kalian melakukan tindakan yang mengarah pada pelabelan negatif, diskriminasi, atau intoleransi? Jika tidak pernah, apakah dalam satu waktu kalian pernah melihat tindakan diskriminasi tersebut?
  3. Hemat kalian, apakah kaitan antara diskriminasi dan kebinekaan budaya bangsa kita?
  4. Upaya apa saja yang dapat kalian lakukan untuk memupuk kerukunan antarumat beragama di Indonesia?
  5. Bagaimana cara mengikis prasangka (prejudice), stereotyping, dan fanatisme agama yang berlebihan?

Daftar Pustaka

Buku, Jurnal

Adiwijoyo, Suwarno. Konsolidasi Wawasan Maritim Indonesia. Jakarta: Pakar Pusat Kajian Reformasi, 2005.

Bakhtiar, Aziz Ikhsan. “Penyelesaian Sengketa antara Indonesia dan Malaysia di Wilayah Ambalat menurut Hukum Laut Internasional”, https://media.neliti.com/media/ publications/35678-ID-penyelesaian-sengketa-antara-indonesia-dan-malaysia- diwilayah-ambalat-menurut-hu.pdf

Danusaputro, Munadjat. Tata Lautan Nusantara dalam Hukum dan Sejarahnya. Jakarta: Binacipta, 1976.

Hadiwidjoyjo, Suryo Sakti. Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.

Kholiludin, Tedi. Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus Agama Resmi dan Diskriminasi Hak Sipil. Semarang: Rasail-eLSA Press, 2009

Koers, Albert W. Konvensi Peserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994.

KONSELOR, Volume 3 Nomor 2, Juni 2014.

Korten, David C, When Corporations Rule the World, Berret-Koehler Publishers, 2015

Ponto, Soleman B.“Menyukseskan Transportasi Laut Lewat Pemahaman UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan”, https://www.gatra.com/detail/news/488264/politik/membedah- masalah-laut-dari-transportasi-hingga-keamanan

Samekto, Adjie. Negara dalam Dimensi Hukum Internasional. Bandung: Bakti, 2003. Suganda, Her. Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, Bandung: Kiblat, 2006.

Verdiansyah, Chris. (ed), Jalan Panjang Menjadi WNI: Catatan Pengalaman dan Tinjauan Kritis.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Conventions on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).

” Yakin Usaha Sampai”

Kelas XI: UUD NRI Tahun 1945

Unit 1

Ide Pendiri Bangsa Tentang Konstitusi

Tujuan Pembelajara :

Kalian diharapkan mampu menjelaskan tentang akar sejarah konstitusi Republik Indonesia, mulai dari ide para perumusnya (pendiri bangsa), jenis konstitusi, dan posisi atau status regulasinya dalam ketatanegaran Indonesia.

Sejarah Konstitusi Indonesia

Apa itu konstitusi? Istilah konstitusi dalam banyak bahasa berbeda-beda, seperti dalam bahasa Inggris ”constitution”, dalam bahasa Belanda ”constitutie”, dalam bahasa Jerman ”konstitution”, dan dalam bahasa Latin ”constitutio” yang berarti undang-undang dasar atau hukum dasar. Jadi, konstitusi merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara. Dalam ungkapan lain, konstitusi adalah kerangka kerja (framework) dari sebuah negara yang menjelaskan tentang bagaimana menjalankan dan mengorganisir jalannya pemerintahan.

Konstitusi pada umumnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi tertulis adalah aturan-aturan pokok dasar negara, bangunan negara, dan tata negara yang mengatur perikehidupan satu bangsa di dalam persekutuan hukum negara. Konstitusi tidak tertulis disebut juga konvensi, yaitu kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul dalam sebuah negara.

Contoh konvensi dalam ketatanegaraan Indonesia, antara lain pengambilan keputusan di MPR berdasarkan musyawarah untuk mufakat, pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus 1945 di depan sidang paripurna DPR, dan sebelum MPR bersidang, Presiden telah menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk sidang umum MPR yang akan datang itu.

Hampir semua negara memiliki konstitusi tertulis, termasuk Indonesia berupa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sedangkan negara yang dianggap tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak asasi manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen. Di Inggris, misalnya, memiliki dokumen bersejarah, seperti Magna Charta Libertatum (1215), The Habies Corps Act (1670), dan The Bill of Rights (1689). Dokumen-dokumen ini dikategorikan sebagai konstitusi tidak tertulis, yang mengatur di antaranya tentang jaminan hak asasi manusia rakyat Inggris. Para pendiri bangsa telah sepakat menyusun sebuah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis dengan segala arti dan fungsinya. Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Di dalam negara yang menganut paham demokrasi, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan agar penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Gagasan ini disebut dengan Konstitusionalisme.

Konstitusi Indonesia dikenal sebagai revolutiegrondwet, yang bermakna bahwa UUD 1945 mengandung gagasan revolusi yang berwatak nasional dan sosial. Tujuannya adalah dekolonisasi dan perubahan sosial ke arah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Negara Indonesia menganut paham konstitusionalisme sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh karena itu, konstitusi bukan undang-undang biasa. Konstitusi tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif biasa, tetapi oleh badan khusus dan lebih tinggi kedudukannya.

Sejarah Konstitutusi Indonesia

UUD 1945 dirancang sejak 29 Mei hingga 16 Juli 1945, bersamaan dengan rencana perumusan dasar negara Pancasila oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan penting, seperti pengesahan UUD 1945 yang diambil dari RUU yang disusun oleh perumus pada 22 Juni 1945 dan juga dari Panitia Perancang UUD tanggal 16 Juni 1945; memilih ketua persiapan kemerdekaan Indonesia Soekarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakilnya.

Naskah UUD 1945 pertama kali dipersiapkan oleh BPUPK. Hal itu dilakukan pada masa sidang kedua tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945. Saat itu, dibahas hal-hal teknis tentang bentuk negara dan pemerintahan baru yang akan dibentuk. Dalam masa persidangan kedua tersebut, dibentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota 19 orang yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Kemudian, Panitia ini membentuk Panitia Kecil lagi yang diketuai oleh Soepomo dengan anggota terdiri atas Wongsonegoro, R. Soekardjo,

A.A. Maramis, Panji Singgih, H. Agus Salim, dan Sukiman.

Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar, pada 13 Juli 1945, berhasil membahas beberapa hal dan menyepakati, antara lain ketentuan tentang Lambang Negara, Negara Kesatuan, sebutan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan membentuk Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri atas Djajadiningrat, Salim, dan Soepomo. Rancangan Undang-Undang Dasar diserahkan kepada Panitia Penghalus Bahasa.

Pada 14 Juli 1945, BPUPK mengadakan sidang dengan agenda ”Pembicaraan tentang pernyataan kemerdekaan”. Panitia Perancangan Undang-Undang Dasar melaporkan hasilnya. Pasal-pasal dari rancangan UUD berjumlah 42 pasal. Dari 42 pasal tersebut, ada lima (5) pasal masuk tentang aturan peralihan dengan keadaan perang, serta satu (1) pasal mengenai aturan tambahan.

Pada sidang tanggal 15 Juli 1945, dilanjutkan sidang tanggal 15 Juli 1945 dengan acara ”Pembahasan Rancangan Undang-Undang Dasar”. Saat itu, Ketua Perancang Undang-Undang Dasar, yaitu Soekarno memberikan penjelasan tentang naskah yang dihasilkan dan mendapatkan tanggapan dari Moh. Hatta, lebih lanjut Soepomo, sebagai Panitia Kecil Perancang Undang-Undang Dasar, diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan terhadap naskah Undang-Undang Dasar.

Penjelasan Soepomo, antara lain mengenai betapa pentingnya memahami proses penyusunan Undang-Undang Dasar. ”Paduka Tuan Ketua! Undang-Undang Dasar negara mana pun tidak dapat dimengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang- Undang Dasar dari suatu negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin. Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya. Undang-undang yang kita pelajari, aliran pikiran apa yang menjadi dasar undang- undang itu. Oleh karena itu, segala pembicaraan dalam sidang ini yang mengenai rancangan-rancangan Undang-Undang Dasar ini sangat penting oleh karena segala pembicaraan di sini menjadi material, menjadi bahan yang historis, bahan interpretasi untuk menerangkan apa maksudnya Undang-Undang Dasar ini.”

Rangkuman :

  1. Konstitusi merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara.
    1. Konstitusi dibagi menjadi dua jenis, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Konstitusi tertulis adalah aturan-aturan pokok dasar negara, bangunan negara, dan tata negara yang mengatur perikehidupan satu bangsa di dalam persekutuan hukum negara. Konstitusi tidak tertulis disebut juga konvensi, yaitu kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul dalam sebuah negara.
    1. Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan agar penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.
    1. Konstitusi Indonesia dikenal sebagai revolutiegrondwet, yang bermakna bahwa UUD 1945 mengandung gagasan revolusi yang berwatak nasional dan sosial. Tujuannya adalah dekolonisasi dan perubahan sosial ke arah terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
    1. Naskah UUD 1945 pertama kali dipersiapkan oleh BPUPK. Hal itu dilakukan pada masa sidang kedua tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945. Saat itu, dibahas hal-hal teknis tentang bentuk negara dan pemerintahan baru yang akan dibentuk.

Unit 2

Hubungan Antarregulasi

Tujuan Pembelajara :

Kalian dapat menjelaskan dan menganalisis tentang hierarki regulasi perundang- undangan, mulai dari UUD 1945 yang menempati posisi paling atas hingga peraturan daerah/kota di posisi paling bawah. Selain itu, kalian diharapkan pula mampu menganalisis beberapa kasus yang menunjukkan ketidakserasian, tumpang tindih dan kontradiksi antaraturan perundang-undangan, serta contoh kasus aturan yang benar, serasi, dan tidak tumpang tindih.

Hierarki dan Hubungan Antarregulasi

Dalam hierarki hukum, konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi dan fundamental sifatnya sehingga peraturan-peraturan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal ini sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa aturan perundang-undangan memiliki hierarki, dari UUD 1945 hingga peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan- peraturan itu dalam istilah formal disebut regulasi, yaitu seperangkat peraturan untuk mengendalikan suatu tatanan yang dibuat supaya bebas dari pelanggaran dan dipatuhi semua anggotanya. Regulasi berasal dari berbagai sumber, tetapi bentuk yang paling umum adalah regulasi pemerintah. Peraturan pemerintah adalah perpanjangan dari undang-undang.

Contoh Kasus Hierarki dan Hubungan Antarregulasi

Regulasi UU tidak hanya menunjukkan adanya hierarki, tetapi juga ada relasi atau hubungan yang tidak boleh saling bertentangan atau tidak boleh terjadi tumpang tindih antarperaturan. Jika ini terjadi, akan terjadi kekacauan aturan, yang menyebabkan kebingungan bagi warga negara.

Jadi, antarperaturan atau UU itu selain menunjukkan hierarki, sebagaimana tertuang dalam pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, juga harus “harmonis” dan memiliki korelasi yang positif. Sekadar contoh, untuk melihat bagaimana pola hierarki dan relasi antarperaturan yang serasi, dapat diamati pada kasus otonomi daerah.

Pemerintah daerah, sejak saat itu hingga kini, diberi kewenangan untuk mengatur dan mengembangkan potensi daerah masing-masing, tetapi harus tetap memperhatikan agar tidak melampaui kewenangan bidang lain. Berikut ini kewenangan pemerintah daerah, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Rangkuman :

  1. Regulasi adalah seperangkat peraturan untuk mengendalikan suatu tatanan yang dibuat supaya bebas dari pelanggaran dan dipatuhi semua anggotanya.
    1. Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi dan fundamental sifatnya sehingga peraturan-peraturan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
    1. Regulasi UU tidak hanya menunjukkan adanya hierarki, tetapi juga ada relasi atau hubungan yang tidak boleh saling bertentangan atau tumpang tindih antarperaturan.

Unit 3

Konsekuensi Pelanggaran Kesepakatan

Tujuan Pembelajaran :

Kalian dapat mengidentifikasi berbagai jenis kesepakatan bersama yang ada di sekolah. Kalian juga dapat mengevaluasi pelaksanaan kesepakatan bersama di sekolah; hal yang sudah dilaksanakan dan belum dilaksanakan.

Konsekuensi Kesepakatan Norma Sekolah

Kesepakatan atau disebut juga pemufakatan diartikan sebagai sikap yang menyepakati akan satu atau beberapa hal oleh satu pihak dengan pihak lain, di mana kesepakatan tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Kesepakatan memiliki prinsip-prinsip yang adil, tidak memberatkan hanya salah satu pihak, bertanggung jawab, dan memiliki konsekuensi hukum atau sanksi jika terjadi pelanggaran atau penyelewengan atas kesepakatan yang telah dibuat bersama.

Kesepakatan juga berkorelasi dengan norma. Sebab, norma merupakan kesepakatan sosial. Kisi-kisi kesepakatan dapat bersumber dari mana pun: dari ajaran agama, adat, atau budaya. Usia norma dapat panjang, dapat pula pendek. Terkadang, norma menyesuaikan perkembangan zaman. Oleh karena itu, aturan main dalam norma dapat berubah setiap saat. Terkadang rigid (kaku), terkadang sangat fleksibel.

Antara Norma dan Kesepakatan

Lalu, apa perbedaan norma dengan kesepakatan? Norma adalah sebuah kesepakatan yang dibangun oleh masyarakat. Norma dibuat sebagai aturan bersama, sebagai cara hidup bersama, dan sekaligus menjadi pemandu untuk mencapai tujuan bersama. Kesepakatan dibuat melalui beberapa cara, melewati beberapa pertemuan dan diskusi yang mendalam, dan melibatkan banyak orang dengan segala kepentingannya.

Sebagai sebuah kesepakatan, norma dibuat untuk dijalankan, bukan untuk dilanggar. Siapa pun anggota masyarakat yang tercakup dalam wilayah geografis ataupun non- geografis norma, harus melaksanakan kesepakatan yang dirumuskan dalam bentuk norma, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Itulah mengapa norma harus dibuat sebagai cermin dari kehendak bersama. Sebagai refleksi akhir dari berbagai pertimbangan yang melibatkan berbagai tokoh masyarakat dari agamawan, ahli hukum, pemegang adat istiadat, dan ahli moral (etika). Norma dibuat bukan sebagai cara untuk melegalkan tindakan yang bertentangan dengan sumber-sumber norma itu sendiri, yakni agama, hukum, sosial, dan kesusilaan.

Oleh karena itu, norma harus ditaati. Apabila ada yang melanggar norma, harus siap menerima konsekuensinya. Konsekuensi bukan hanya terhadap pelaku pelanggaran, tetapi juga dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat. Seperti halnya tawuran, sudah barang tentu ada kesepakatan umum bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan. Ada banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh perilaku massal tersebut.

Secara individu, tentu saja ada luka batin dan lahir. Selalu terpelihara hati yang mendendam, tanpa kasih sayang. Secara lahir, banyak yang harus dirawat di rumah sakit akibat tawuran. Bahkan, ada yang harus dikebumikan. Keluarga kehilangan dan diliputi duka lara. Masyarakat juga menjadi terpecah belah, terkotak-kotak antara pro dan kontra. Selain itu, juga dapat menimbulkan sentimen dalam masyarakat yang berkepanjangan.

Kasus seks bebas, misalnya. Secara pribadi, seks bebas memberikan ruang penyaluran hasrat dan keinginan. Namun, seks bebas juga sekaligus merupakan tindakan melanggar terhadap hak orang lain. Orang tua resah dan gelisah. Seks tanpa ikatan perkawinan menghancurkan cita-cita ketenteraman yang diidamkan oleh masyarakat.

Norma di Sekolah

Seperti halnya di masyarakat, norma di sekolah pun demikian. Norma disepakati oleh berbagai pihak, dari manajemen sekolah, guru, orang tua, peserta didik, hingga masyarakat. Norma hendaknya disusun dengan melibatkan berbagai pihak secara demokratis. Mereka bersama-sama berdiskusi, semua pendapat ditampung dan didiskusikan secara demokratis pula. Jangan sampai mereka diundang hanya sebagai legitimasi tanpa apresiasi atas aspirasi. Jangan sampai partisipasi diabaikan dalam membuat sebuah kesepakatan norma, termasuk di dalam lembaga pendidikan (sekolah).

Kesepakatan yang dibangun harus mencerminkan kehendak bersama antara manajemen sekolah, guru, orang tua, peserta didik, dan masyarakat. Bukan sebagai sarana untuk memaksakan sebuah kehendak tertentu oleh pihak tertentu.

Dalam menyusun sebuah kesepakatan, apalagi yang ditulis menjadi norma bersama, menghargai pendapat orang lain menjadi sangat penting. Semua pihak harus meletakkan norma yang akan dibuat sebagai tanggung jawab bersama. Karena itu, harus merupakan keinginan bersama dan mencerminkan kepentingan semua pihak. Semua bersepakat membuat norma untuk mencapai tujuan bersama.

Sekolah atau lembaga pendidikan model apa pun, hendaknya menjadi contoh atau model yang tepat, yang bisa dirujuk oleh masyarakat. Jangan sampai sekolah justru menjadi contoh buruk dari sebuah pemaksaan kehendak dalam membuat kesepakatan norma. Ini memang bukan sesuatu yang mudah, tetapi justru itu adalah tantangan dari sebuah komitmen sekolah untuk melayani. Bukan hanya melayani dalam bentuk pengajaran, tetapi juga melayani dalam upaya pembelajaran kepada diri sendiri dan masyarakat luas.

Rangkuman :

  1. Kesepakatan atau disebut juga pemufakatan diartikan sebagai sikap yang menyepakati akan satu atau beberapa hal oleh satu pihak dengan pihak lain, di mana kesepakatan tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
    1. Norma adalah sebuah kesepakatan yang dibangun oleh masyarakat. Norma dibuat sebagai aturan bersama, sebagai cara hidup bersama, dan sekaligus menjadi pemandu untuk mencapai tujuan bersama.
    1. Norma harus ditaati. Apabila ada yang melanggar norma, harus siap menerima konsekuensinya. Konsekuensi bukan hanya terhadap pelaku pelanggaran, tetapi juga dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat.
    2. Dalam menyusun sebuah kesepakatan, apalagi yang ditulis menjadi norma bersama, menghargai pendapat orang lain menjadi sangat penting. Semua pihak harus meletakkan norma yang akan dibuat sebagai tanggung jawab bersama.
    3. Sekolah atau lembaga pendidikan model apa pun, hendaknya menjadi contoh atau model yang tepat, yang bisa dirujuk oleh masyarakat. Jangan sampai sekolah justru menjadi contoh buruk dari sebuah pemaksaan kehendak dalam membuat kesepakatan norma.

Unit 4

Studi Kasus Pelanggaran Norma dan Regulasi

Tujuan Pembelajaran :

Kalian dapat mendiskusikan kasus-kasus pelanggaran terhadap norma dan aturan secara objektif dengan berdasarkan ketentuan normatif dalam konstitusi. Selain itu, kalian dapat memahami berbagai macam bahaya dan dampak pelanggaran norma yang ada di masyarakat, seperti korupsi, narkoba, kekerasan, tawuran, ketidakadilan hukum, dan seks bebas.

Contoh Kasus Pelanggaran Norma

Sebagaimana telah dipelajari pada materi sebelumnya, norma merupakan kesepakatan dari berbagai pihak. Karena itu, ia harus kita terima dan patuhi, meskipun kita bukanlah orang yang terlibat langsung dalam proses pengambilan kesepakatan tersebut.

Pertanyaannya, bagaimana jika ada seorang warga masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap hasil kesepakatan tentang norma, baik yang bersumber dari agama, hukum, kesusilaan, maupun sosial? Pelanggaran-pelanggaran tersebut, misalnya melakukan tindakan korupsi, menyalahgunakan narkoba, melakukan tawuran, melakukan seks bebas, atau perbuatan-perbuatan lainnya yang dilarang oleh norma. Tentu, segala perbuatan melanggar norma yang telah disepakati akan ada konsekuensi atau akibatnya, baik akibat hukum maupun akibat-akibat lainnya, seperti sanksi sosial.

Contoh, ketika seorang warga masyarakat melanggar kesepakatan yang diatur oleh norma agama, dia akan mendapatkan konsekuensi atau akibat yang diatur oleh ajaran agama tersebut, baik dia akan menerimanya ketika masih hidup di dunia ataupun kelak setelah dia meninggal dunia. Contoh lain, ketika warga masyarakat melanggar kesepakatan yang telah digariskan dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu norma kemasyarakatan, dia akan mendapatkan konsekuensi berupa sanksi sosial dari masyarakat tersebut, apakah sanksinya berbentuk pengucilan atau bahkan pengusiran.

Berikutnya, contoh yang lebih tegas ialah ketika ada seorang warga masyarakat yang melanggar kesepakatan sebagaimana diatur oleh norma hukum, dia akan mendapatkan konsekuensi berupa hukuman yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Misalnya, seseorang yang melakukan tindak pencurian, maka ia telah melanggar Pasal 362 KUHP, yang menyatakan, “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Rangkuman :

  1. Norma merupakan kesepakatan dari berbagai pihak. Karena itu, ia harus kita terima dan patuhi, meskipun kita bukanlah orang yang terlibat langsung dalam proses pengambilan kesepakatan tersebut.
    1. Contoh, ketika seorang warga masyarakat melanggar kesepakatan yang diatur oleh norma agama, dia akan mendapatkan konsekuensi atau akibat sebagaimana yang diatur oleh ajaran agama tersebut, baik dia akan menerimanya ketika masih hidup di dunia maupun kelak setelah dia meninggal dunia.
    1. Seseorang yang melakukan tindak pencurian, maka ia telah melanggar Pasal 362 KUHP, yang menyatakan, “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

SMK Negeri 6 BISA

“YAKIN USAHA SAMPAI”

PEMIKIRAN PENDIRI BANGSA TENTANG PANCASILA

Unit: 1

Peta Pemikiran Pendiri Bangsa tentang Pancasila

Tujuan Pembelajaran

Peserta didik mampu memetakan pemikiran para pendiri bangsa tentang rumusan dasar  negara dan isi Pancasila, serta hubungan agama dan negara.

Aktifitas Belajar 1

Bagaimana disebutkan dalam buku PPKn Kelas X, ada banyak anggota BPUPK yang turut menyampaikan pidato pada sidang pertama yang membahas tentang dasar negara Indonesia merdeka. Tak hanya Moh. Yamin, Soepomo, dan Soekarno yang menyampaikan pidato waktu itu, melainkan juga ada Hatta, H. Agus Salim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan lain-lain. Diskusi dan saling menanggapi, bahkan saling sanggah, terjadi selama persidangan.

Hal tersebut tentu sebuah kewajaran, bahkan keharusan. Disebut kewajaran karena setiap orang niscaya memiliki pemikiran yang berbeda-beda akibat pengaruh perbedaan latar belakang, sudut pandang, cita-cita, dan lain sebagainya. Bahkan, disebut keharusan karena yang menjadi subjek pembicaraan adalah negara besar, tidak hanya dari aspek geografis dan jumlah populasi, melainkan juga kaya akan sumber daya alam dan tradisi. Pada titik ini, diskusi, saling menanggapi, bahkan saling sanggah dalam persidangan adalah wujud demokrasi. Namun demikian, para anggota BPUPK—serta para pendiri bangsa lainnya yang tidak tergabung dalam BPUPK—memiliki cita-cita yang sama, yakni kemerdekaan, persatuan, dan kejayaan Indonesia.

Sebagaimana dalam uraian buku Kelas X, tampak jelas bahwa Soekarno memiliki peran besar dalam merumuskan dasar negara. Ia bukan saja memperkenalkan nama Pancasila terhadap lima konsep yang disampaikan dalam sidang BPUPK. Lebih dari itu, kelima konsep yang disampaikan menjadi rujukan penting dalam pembahasan- pembahasan berikutnya, terutama dalam Panitia Sembilan.

Namun demikian, kontribusi pemikiran sejumlah tokoh lainnya tidaklah sedikit. Usulan Soepomo, misalnya, terkait bentuk negara integralistik serta struktur sosial bangsa Indonesia juga menjadi kerangka penting dalam merumuskan negara merdeka. Begitu juga dengan anggota BPUPK lainnya.

Tak hanya pada sidang pertama BPUPK, perbincangan tentang dasar negara terus dimatangkan, baik dalam Panitia Kecil maupun pada saat sidang kedua BPUPK. Hasil dari Panitia Kecil yang dibentuk setelah sidang pertama BPUPK, dicapainya kesepakatan 2, antara, yang oleh Soekarno disebut sebagai, “kelompok Islam” dan “kelompok kebangsaan”, sebagaimana yang tertulis dalam Preambule, atau Mukaddimah. Hasil kesepakatn ini dibacakan oleh Soekarno sebagai ketua Panitia Kecil dihadapan sidang BPUPK yang kedua. Pada sidang kedua ini, anggota BPUPK banyak mendiskusikan soal bentuk negara, ketimbang soal dasar negara.

Perbincangan tentang dasar negara kembali mengemuka pada saat sidang PPKI yang berlangsung sehari setelah kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945. Fokus pembicaraan pada saat itu adalah soal “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Pada bagian ini, kalian akan mempelajari peta pemikiran para pendiri bangsa tentang dasar negara, tidak hanya yang muncul pada saat era BPUPK ataupun PPKI, tetapi juga setelahnya, termasuk soal bagaimana para pendiri bangsa memaknai Pancasila.

  1. Soekarno

Dalam buku Kelas X telah diuraikan cuplikan pidato Soekarno dalam sidang pertama BPUPK. Soekarno mengusulkan lima dasar bagi Indonesia merdeka. Dia pula yang mengusulkan penamaan Pancasila terhadap kelima dasar yang diusulkan tersebut.

Berikut 5 dasar usulan Soekarno, beserta penjelasannya:

  1. Kebangsaan Indonesia

Soekarno menjelaskan bahwa kebangsaan di sini bukan dalam arti sempit, tetapi dalam arti luas yakni, nationale staat. Soekarno kemudian memberikan definisi “bangsa” dengan mengutip pendapat Ernest Renan, yaitu “kehendak akan bersatu, Orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu”. Soekarno juga mengutip pendapat Otto Bauer yang mendefinisikan bangsa “adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib”. Namun, kedua definisi ini dirasa oleh Soekarno tidak cukup untuk menggambarkan kebangsaan Indonesia. Pasalnya, Soekarno memberikan contoh bangsa Minangkabau. Sesama bangsa Minangkabau merasa satu kesatuan, merasa satu keluarga.

Pendek kata, Soekarno menjelaskan bahwa bangsa Indonesia bukanlah sekadar satu golongan orang yang memiliki keinginan untuk bersama dan bersatu dengan golongannya, tetapi harus menjadi satu kesatuan seluruh manusia Indonesia yang berbangsa-bangsa dan tinggal di pulau-pulau Indonesia.

  • Internasionalisme atau perikemanusiaan

Internasionalisme di sini, kata Soekarno, tidak bermakna kosmopolitanisme, sebuah paham yang menganggap bahwa seluruh manusia adalah satu komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama. Jika seperti ini, kata Soekarno, maka “tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya”.

Karena itulah, internasionalisme harus berakar pada nasionalisme. Soekarno mengatakan, “Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme”. Dengan demikian, dasar pertama, kebangsaan Indonesia, harus bergandengan tangan dengan dasar kedua, internasionalisme. Soekarno mengutip pendapat Mahatma Gandhi, “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan.”

  • Mufakat atau demokrasi

Soekarno mengatakan, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara, ‘semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.’ Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusya- waratan, perwakilan.”

  • Kesejahteraan Sosial

Prinsip keempat yang diusulkan Soekarno adalah kesejahteraan sosial. Menurut Soekarno, prinsip keempat ini belum ada yang membicarakan selama sidang pertama BPUPK. Kesejahteraan sosial di sini, menurut Soekarno, “tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”. Prinsip ini dikaitkan oleh Soekarno dengan prinsip ketiga.

  • Ketuhanan

Prinsip kelima yang diusulkan Soekarno adalah Ketuhanan. “Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber- Tuhan,” ujar Soekarno. “Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,” kata Soekarno. Apa maksud ber-Tuhan secara kebudayaan atau keadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. Soekarno pun menyinggung bagaimana Nabi Muhammad dan Nabi Isa memberikan bukti yang cukup tentang hormat- menghormati. Karena itulah, ketuhanan yang berkebudyaan di sini dimaknai oleh Soekarno sebagai ketuhanan yang berbudi pekerti, yang luhur, ketuhanan yang menghormati sama lain. Dengan prinsip kelima inilah, semua agama dan kepercayaan mendapatkan tempat yang baik.

Kelima dasar tersebut oleh Soekarno, diberi nama Pancasila. Namun, jika sekiranya kelima dasar tersebut dirasa kurang cocok, Soekarno kemudian memeraskan menjadi tiga, (trisila): Sosio-Nasiolisme, Sosio-Demokratik, dan Ketuhanan. Jika pun ketiga dasar ini dirasa kurang cocok, Soekarno mengusulkan satu dasar (ekasila), yang diperas dari ketiga dasar tersebut, yaitu Gotong Royong.

  • Moh. Yamin

Mohammad Yamin menyuguhkan lima usulan tentang dasar negara Indonesia merdeka. Bagai- mana penjelasan Moh. Yamin terhadap masing- masing usulan tersebut? Berikut penjelasannya.

  1. Peri Kebangsaan

Menurut Yamin, ada tiga hal yang harus dilakukan terkait dengan kebangsaan Indonesia yang berkeinginan untuk merdeka, yaitu (1) mengenai pekerjaan anggota untuk mengumpulkan segala bahan-bahan untuk pembentukan negara, (2) mengenai Undang- Undang Dasar Negara, (3) usaha yang harus dilakukan untuk menjadikan Indonesia merdeka sesuai dengan keinginan rakyat.

Sebuah negara, menurut Yamin, berkaitan dengan tanah air, bangsa, kebudaya- an, dan kemakmuran. Ia ibarat setangkai bunga yang berhubungan dengan dahan, daun, dan cabang. Karena itu, Yamin menyarankan agar tatanan negara Indonesia berbeda dengan negara luar, karena aturan-aturan dasar negara Indonesia perlu merujuk kepada tradisi, adat, agama, dan otak Indonesia, bukan merujuk kepada negara lain.

  • Peri Kemanusiaan

Yamin mengatakan bahwa pergerakan Indonesia merdeka tidak saja berkaitan dengan perlawanan terhadap penjajah, melainkan juga upaya untuk menyusun masyarakat baru dalam suatu negara. Tujuan Indonesia merdeka sudah sama artinya dengan dasar kemanusiaan yang berupa dasar kedaulatan rakyat atau kedaulatan negara.

Kedaulatan rakyat Indonesia dan Indonesia merdeka berdasarkan peri kemanusiaan yang universal, berisikan tentang humanisme dan internasionalisme bagi segala bangsa. Dasar peri kemanusiaan adalah dasar hukum internasional dan peraturan kesusilaan sebagai bangsa dan negara yang merdeka.

  • Peri Ketuhanan

Poin ketiga yang disampaikan oleh Yamin adalah ketuhanan. Yamin tidak mem- berikan penjelasan panjang lebar terkait dengan hal ini. Yamin hanya mengatakan bahwa bangsa Indonesia merdeka adalah bangsa yang berkeadaban luhur, dan peradabannya memiliki Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan akan melindungi negara Indonesia merdeka itu.

  • Peri Kerakyatan,

Yamin memberikan ilustrasi cukup panjang tentang poin ini. Peri kerakyatan ini memiliki anak poin lagi, yaitu permusyawaratan, perwakilan, dan kebijakan. Terhadap anak poin tersebut, Yamin banyak merujuk kepada kitab suci umat Islam, al-Qur’an.

Ketika membahas tentang permusyawaratan, Yamin mengutip ayat al-Qur’an surat As-Syuara ayat 38, juga merujuk kepada sejarah Nabi Muhammad dan para sahabat, yang kesemuanya dijadikan dasar perlunya permusyawaratan. Yamin juga mengambil dasar permusyawaratan dari sifat-sifat peradaban asli Indonesia (pra- sejarah), di mana nenek moyang kita sudah terbiasa melakukan musyawarah.

Anak poin kedua adalah perwakilan. Menurut Yamin, sifat utama dari susun- an masyarakat ialah adanya sistem perwakilan. Mohammad Yamin melihat bahwa despotisme dan feodalisme merupakan penyakit yang menghinggapi peradaban Indonesia yang harus disingkirkan. Bagi Yamin, untuk mewujudkan negara Indonesia yang sesuai dengan kehendak rakyatnya, maka perwakilan perlu dilakukan.

Anak poin ketiga adalah jalan kebijaksanaan, yang oleh Yamin diterjemahkan menjadi rasionalisme. Hikmah dari kebijaksanaan yang menjadikan pemimpin rakyat Indonesia ialah rasionalisme yang sehat, karena telah melepaskan diri dari anarki, liberalisme, dan semangat penjajahan.

  • Kesejahteraan Rakyat

Tidak banyak yang dijelaskan Yamin mengenai kesejahteraan rakyat ini. Ia hanya mengatakan bahwa perubahan besar yang terjadi dalam diri bangsa Indonesia berhubungan langsung dengan dilantiknya negara baru. Selain itu, mengenai kehidupan ekonomi sosial bangsa Indonesia, Mohammad Yamin membicarakan persoalan tentang kesejahteraan rakyat atau keadilan sosial yang dikaitkan dengan daerah negara.

  • Soepomo

Sebagai pakar hukum, Soepomo mula-mula berbicara tentang syarat-syarat berdirinya suatu negara berdasarkan konstitusi. Menurutnya, syarat pertama adalah daerah. Terhadap hal ini, Soepomo sepakat bahwa daerah Indonesia meliputi batas Hindia- Belanda. Kedua, rakyat sebagai warga negara. Artinya, siapapun yang memiliki kebangsaan Indonesia, maka dengan sendirinya bangsa Indonesia asli. Bangsa peranakan, Tionghoa, India, Arab yang telah turun temurun tinggal di Indonesia, dan mempunyai kehendak yang sungguh-sungguh untuk bersatu dengan bangsa Indonesia yang asli, maka ia harus diterima sebagai warga negara Indonesia. Ketiga, pemerintahan yang berdaulat menurut hukum internasional.

Kemudian, Soepomo berbicara tentang dasar negara Indonesia dengan mengutip sejumlah teori, seperti teori perseorangan yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes dan John Locke, teori golongan (class theory) dari Karl Marx, Engels, dan Lenin, serta teori integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel.

Setiap negara, menurut Soepomo, harus sesuai dan menggambarkan struktur sosial, karakteristik masyarakat. Negara Indonesia merdeka tidak seharusnya dibangun dengan menjiplak masyarakat di luar Nusantara. Corak dan bentuk negara itu harus disesuaikan dengan perikehidupan masyarakat yang nyata. Menurut Soepomo, struktur sosial bangsa Indonesia itu ditopang oleh semangat persatuan hidup, semangat kekeluargaan, keseimbangan lahir batin masyarakat, yang senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya

  1. Persatuan,

Persatuan yang dimaksudkan oleh Soepomo adalah persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti, persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara pemimpin dan rakyatnya. Soepomo sangat menekankan adanya persatuan pemimpin dengan rakyatnya. Karena itulah, pejabat negara, menurut Soepomo, ialah pemimpin yang bersatu-jiwa dengan rakyat, dan para pejabat negara itu senantiasa memegang teguh persatuan dan keseimbangan dalam masyarakatnya.

  • Kekeluargaan,

Karakteristik sosial bangsa Indonesia adalah kekeluargaan, sehingga hal ini perlu menjadi dasar bagi Indonesia merdeka. Soepomo mengkritik apa yang disebutnya “kebudayaan Barat”. Menurut Soepomo, orang Barat berpegang pada prinsip perseorangan (individualisme). Individualisme ini yang menyebabkan bangsa- bangsa Eropa pada keangkaramurkaan, ia dapat bersaing dengan sangat keras dan saling menjatuhkan. Sementara, orang Timur tidak mengenal individualisme. Dalam budaya Timur, sebagaimana Indonesia, semua orang dianggap sebagai anggota keluarga. Semua pekerjaan dijalankan secara bersama-sama. Oleh karena itu, negara Indonesia merdeka harus diselenggarakan atas dasar kekeluargaan dan gotong-royong.

  • Keseimbangan lahir dan batin,

Setiap manusia, menurut Soepomo, dalam pergaulan sosial memiliki kewajiban hidup (dharma) sendiri menurut kodrat alamnya, yang kesemuanya itu ditujukan untuk mencapai keseimbangan lahir dan batin. Batin di sini berkaitan dengan agama, keyakinan, atau kepercayaan yang dimiliki masyarakat Indonesia, yang dapat menjadikan petunjuk jalan dalam kehidupannya. Sementara lahir berarti hal-hal tampak, ragawi, dan fisikal. Keduanya tidak dapat dipisahkan.

  • Musyawarah,

Menurut Soepomo, masyarakat Indonesia sudah terbiasa melakukan musyawarah sejak dahulu kala. Karena itu, pemimpin negara Indonesia, menurut Soepomo, hendaknya bermusyawarah dengan rakyatnya, atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desa, agar terwujud pertalian antara pemimpin dan rakyat.

5) Keadilan rakyat.

Soepomo hanya sedikit menyinggung kelima dasar di atas, selebihnya Soepomo berbicara tentang bentuk negara Indonesia merdeka. Dalam imajinasi Soepomo, negara merdeka itu haruslah suatu “negara totaliter”, seperti Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler atau Jepang di bawah kaisar Tennoo Heika. Maksud dari “negara totaliter”, yang oleh Soepomo disebut dengan “bentuk integralistik”, ialah suatu negara yang meniadakan perbedaan antargolongan masyarakat, meleburkan seluruh golongan ke dalam satu zat, yaitu rakyat yang bersatu jiwa dengan pemimpinnya

Pemimpin Indonesia yang dibayangkan oleh Soepomo seperti “Ratu Adil”, sesosok raja dalam mitos orang Jawa yang akan menyelamatkan seluruh rakyat dari marabahaya. Karena itulah, Soepomo menganjurkan bahwa “dalam Negara Indonesia itu hendaknya dianjurkan supaya para warga negara cinta kepada tanah air, ikhlas akan diri sendiri, dan suka berbakti kepada tanah air; supaya mencintai dan berbakti kepada pemimpin dan kepada negara; supaya takluk kepada Tuhan, supaya tiap-tiap waktu ingat kepada Tuhan”.

  1. Moh. Hatta

Menurut Moh. Hatta, Pancasila sebenar- nya tersusun atas dua dasar. Pertama, berkaitan dengan moral, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, berkaitan dengan aspek politik, yaitu kemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial.

Ketuhanan, menurut Hatta, menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan Indonesia untuk menyelenggarakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat. Kemanusiaan menegaskan pentingnya perbuatan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintah, sehingga ia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanu- siaan. Persatuan Indonesia menegaskan sifat negara Indonesia sebagai negara nasional yang satu, tidak terbagi-bagi ke

dalam ideologi, golongan, dan kelompok tertentu. Dasar kerakyatan menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemauan, kehendak, dan aspirasi rakyat. Dasar keadilan sosial merupakan pedoman dan tujuan bagi adanya Indonesia.

Hatta menolak gagasan negara integralistik atau negara totaliter, sebagaimana yang diusulkan oleh Soepomo. Menurut Hatta, negara integralistik memberikan peluang dan legitimasi terhadap adanya kekuasaan mutlak negara, karena negara dan rakyat menjadi satu, tidak terpisahkan. Hatta lebih setuju dengan negara kesatuan yang bersendi demokrasi dan dibatasi oleh konstitusi. Dengan bersendi demokrasi, maka  dalam negara kesatuan, kekuatan terbesar ada pada rakyat. Di sini, rakyat mendapatkan haknya untuk menyuarakan pendapatnya melalui lembaga-lembaga demokrasi.

Hatta menolak demokrasi yang bertumpu pada kepentingan feodal, ataupun kepentingan satu golongan yang menindas golongan lain. Demokrasi politik saja, tidak melaksanakan persamaan dan persaudaraan, sehingga ia juga harus ditopang dengan demokrasi ekonomi.

Cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial yang meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita-cita keadilan sosial harus dijadikan program untuk dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sumber demokrasi sosial Indonesia adalah paham sosialisme Barat, sebagai dasar perikemanusiaan; ajaran Islam sebagai dasar menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai mahkuk Tuhan; masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme menjadi dasar tolong menolong dan gotong royong.

3. Refleksi

Setelah melalui proses belajar hari ini, saatnya kalian melakukan refleksi terhadap diri sendiri dengan mengisi Tabel Refleksi 3-2-1 di bawah ini:

Aktivitas Belajar 2

Dinamika Perumusan Pancasila

Perdebatan mengenai hubungan antara agama dan negara turut mewarnai sidang BPUPK kala itu. Para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia berbeda pendapat soal ini. Sebagian menghendaki Islam menjadi dasar negara, sebagian lainnya berpandangan bahwa negara Indonesia tidak perlu menjadikan agama sebagai dasar negara. Soekarno dan Hatta, misalnya, adalah tokoh yang berpandangan bahwa negara Indonesia tidak dapat didasarkan kepada Islam. Sementara itu, Moh. Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Wahid Hasyim memandang bahwa Islam harus menjadi dasar negara.

Untuk mengatasi perbedaan pendapat tersebut, sebagai bagian dari demokrasi serta untuk menghindari perpecahan, maka dicarikan titik temu dalam Panitia Sembilan yang dibentuk setelah sidang pertama BPUPK. Setelah melewati diskusi panjang, akhirnya Panitia Sembilan menyepakati preambule yang disampaikan oleh Soekarno, selaku ketua Panitia Sembilan, dalam sidang BPUPK kedua pada 10 Juli 1945. Preambule ini merupakan persetujuan bersama antarkalangan yang semula berbeda pendapat. Ini adalah potret sebuah proses demokrasi yang indah. Perdebatan dan perbedaan pendapat bukanlah sesuatu permusuhan, melainkan bagian dari ihktiar bersama untuk mencari rumusan dasar negara Indonesia yang tepat.

Berikut bunyi preambule yang dibacakan oleh Soekarno:

Namun, tak cukup sampai di situ. Preambule tersebut, rupanya masih menjadi polemik di kalangan pendiri bangsa. Mohammad Hatta, misalnya, tetap berpandangan bahwa Islam tidak perlu menjadi dasar negara secara formal. Islam tetap menjadi semangat dan dasar moral.
Akhirnya, dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, tujuh kata dalam preambule, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” dihapuskan. Alasannya, terdapat keberatan dari satu kelompok anak bangsa terkait dengan tujuh kata dalam Preambule tersebut. Demi menjaga keutuhan bangsa, akhirnya, Moh. Hatta mendiskusikan tentang rencana penghapusan tersebut kepada tokoh Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasyim.
Saat mengetahui keberatan dan potensi perpecahan, Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasyim–sebagai representasi dari 2 organisasi Islam terbesar: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama–pun setuju dengan penghapusan tujuh kata tersebut. Ki Bagus Hadikusumo, misalnya, mengatakan:
 
Kelompok Pertama: Nasionalis Sekuler
 
Kelompok ini memandang bahwa negara Indonesia tidak bisa didasarkan kepada agama, atau secara spesifik kepada Islam, meskipun pemeluk agama Islam di Indonesia memiliki jumlah terbanyak di antara agama-agama lain. Argumentasinya, adalah agama dan negara memiliki domain yang berbeda. Agama berkaitan dengan urusan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kebenaran absolut, bersifat suci. Sementara negara menyangkut persoalan dunia dan kemasyarakatan. Karena itulah, bagi kelompok ini, negara tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusan internal agama masing- masing, apalagi memaksakan agama kepada warga negaranya.
Sebagaimana kita tahu, Indonesia memiliki banyak agama dan kepercayaan. Karena itu, menurut pandangan kelompok ini, perlu ada satu dasar yang dapat mewadahi, menampung, dan memfasilitasi keberadaan agama dan kepercayaan di Indonesia.
Soepomo secara cerdik membedakan “negara Islam” dengan “negara berdasar atas cita-cita luhur agama Islam”. Dalam negara Islam, negara tidak dipisahkan dari agama, sehingga hukum syariat Islam yang merupakan perintah Allah juga dijadikan hukum negara. Soepomo kemudian menceritakan bahwa dalam sejumlah negara Islam seperti Mesir, Iran, dan Irak, masih muncul pertanyaan, apakah hukum syariat Islam bisa disesuaikan dengan hukum internasional atau tidak? Dalam keterangannya disebutkan, ada yang membolehkan menyesuaikan dengan hukum internasional, ada juga yang mengatakan tidak boleh.
Ini tentu berbeda dengan “negara berdasar atas cita-cita luhur agama Islam”, di mana syariat islam tidak menjadi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam suatu negara, melainkan negara mengambil spirit dan semangat dari Islam. Karena itulah, Soepomo menolak gagasan negara Islam itu. Namun demikian, bukan berarti negara kita, demikian Soepomo menjelaskan, adalah negara “a-religius”, melainkan sebuah negara yang memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur, menjaga cita-cita moral rakyat Indonesia. Budi pekerti kemanusiaan yang luhur itu juga yang dianjurkan oleh Islam.
 
Kelompok Kedua: Nasionalis-Islam
 
Sementara kelompok kedua berpandangan bahwa Islam bukan saja mencakup moral, tetapi juga berkaitan dengan sosial dan politik. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia. Lebih dari itu, dalam pandangan M. Natsir, Islam adalah agama mayoritas bangsa Indonesia sehingga Islam perlu menjadi dasar negara.
Menurut Natsir, Islam memiliki nilai-nilai sempurna bagi kehidupan bernegara dan dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dengan penuh toleransi. Bahkan, jikapun Islam tidak menjadi dasar negara, bagi Natsir tidaklah masalah, dengan catatan hukum Islam dapat diterapkan. “Negara bukanlah tujuan, melainkan hanyalah alat untuk mewujudkan ajaran-ajaran Islam,” tulis Natsir dalam Pandji Islam (15 Juli 1940).
Sejumlah argumen untuk mendukung perlunya menjadikan Islam sebagai dasar negara banyak merujuk kepada sejumlah ayat dalam al-Qur’an, sekaligus juga praktik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, terutama di Madinah.
Islam, menurut Ki Bagus Hadikusumo, mengajarkan empat perkara, yakni iman, ibadah, amal saleh, dan berjihad di jalan Allah. Apabila keempat ajaran ini diterapkan dengan sungguh-sungguh di Indonesia, kata Ki Bagus, “[…] alangkah sentosa, bahagia, makmur, dan sejahteranya negara kita ini.”
 
Unit 2
Penerapan Pancasila Dalam konteks Berbangsa dan Bernegara
 
1.     Tujuan Pembelajaran
Dalam konteks kehidupan bernegara, peserta didik diharapkan mampu menelaah bagaimana penerapan nilai-nilai Pancasila, sehingga secara reflektif mereka dapat melihat praktik bernegara yang ideal ataupun yang belum ideal menurut nilai-nilai Pancasila.
Penerapan Pancasila dalam Kehidupan Bernegara
 
Sebagai dasar negara, Pancasila tentu saja tidak cukup hanya tertera dalam sejumlah dokumen negara, tidak juga diperingati melalui upacara dan kegiatan lainnya. Lebih dari itu, negara harus diatur dan diselenggarakan berdasarkan Pancasila.Tidak boleh ada pelanggaran Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah selaku penyelenggara negara.
Untuk menelaah bagaimana penerapan Pancasila dalam praktik bernegara, perlu diketahui bahwa dalam ideologi Pancasila, menurut Moerdiono, terdapat tiga tataran nilai.
a.        Nilai Dasar, suatu nilai yang bersifat abstrak dan tetap, terlepas dari pengaruh perubahan ruang dan waktu. Nilai dasar ini merupakan prinsip yang kebenarannya bersifat absolut. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar yang berkenaan
dengan eksistensi sesuatu, mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar, dan ciri khasnya. Nilai dasar inilah yang telah ditetapkan oleh para pendiri bangsa, sehingga Pancasila disepakati sebagai dasar negara. Ketika Soekarno mengatakan bahwa Pancasila itu digali dari tradisi luhur dan perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme, maka yang dimaksudkan adalah nilai dasar itu. Nilai dasar itu berbunyi lima sila dalam Pancasila. Nilai-nilai dasar dari Pancasila tersebut meliputi nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, serta nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.       Nilai Instrumental, nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai-nilai Pancasila, berupa arahan kinerja untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini harus disesuaikan dengan tuntutan zaman, dan mengacu serta berlandasarkan pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamis dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.
c.        Nilai Praksis, adalah nilai yang terdapat dalam kenyataan hidup sehari-hari, baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Nilai praksis adalah wujud dari penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik dilakukan oleh lembaga negara: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maupun dilakukan oleh organisasi masyarakat, bahkan warga negara secara perseorangan.
  
Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai DasarKetuhanan
Nilai InstrumentalUUD 1945, Pasal 28E: Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.   UUD 1945, Pasal 29: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Nilai PraksisMengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.Percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.Tidak melakukan penistaan dari suatu agama seperti melakukan pembakaran rumah-rumah ibadah.Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Nilai DasarKemanusiaan
Nilai InstrumentalUUD 1945, Pasal 14: Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.   UUD 1945, Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Nilai DasarKemanusiaan
 UUD 1945, Pasal 28B: Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. UUD 1945, Pasal 28G: Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” UUD 1945, Pasal 28I: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. UUD 1945, Pasal 28J: “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.
Nilai PraksisMengakui persamaan derajat, hak, dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan.Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.Tidak semena-mena terhadap orang lain.
Nilai DasarKemanusiaan
 Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, seperti acara acara bakti sosial, memberikan bantuan kepada panti-panti asuhan sebagai bentuk kemanusiaan peduli akan sesama.

Sila Ketiga: Persatuan Indonesia

Nilai DasarPersatuan
Nilai InstrumentalUUD 1945, Pasal 25A: “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” UUD 1945, Pasal 35: “Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.” UUD 1945, Pasal 36: “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.” UUD 1945, Pasal 36A: “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.” UUD 1945, Pasal 36B: “Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.”
Nilai PraksisMengembangkan sikap saling menghargai.Membina hubungan baik dengan semua unsur bangsa.Memajukan pergaulan demi peraturan bangsa.Menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan Indonesia.Mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan

Nilai Dasar                                                           Kerakyatan
Nilai InstrumentalUUD 1945, Pasal 2: Majelis Permusyawaratan rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.
Nilai DasarKerakyatan
 (3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak. UUD 1945, Pasal 3: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan me- netapkan Undang-Undang Dasar.” UUD 1945, Pasal 6A: Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.   UUD 1945, Pasal 19 `Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.`Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang- undang.Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
Nilai PraksisMenghindari aksi “Walk Out” dalam suatu musyawarah.Menghargai hasil musyawarah.Ikut serta dalam pemilihan umum, pilpres, dan pilkada.Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil rakyat yang telah terpilih dan yang menjadi wakil rakyat juga harus mampu membawa aspirasi rakyat.Tidak memaksakan kehendak kita kepada orang lain.Menghormati dan menghargai pendapat orang lain.

Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Nilai DasarKeadilan
Nilai InstrumentalUUD 1945, Pasal 33: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat.Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, keman- dirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.   UUD 1945, Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Nilai PraksisSuka melakukan perbuatan dalam rangka mewujudkan kemajuan dan keadilan sosial.Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.Menghormati hak-hak orang lain.Suka memberi pertolongan kepada orang lain.Tidak bersifat boros, dan suka bekerja kerasTidak bergaya hidup mewah.

Unit 3

Peluang  Dan Penerapan Pancasila Dalam Kehidupan Global

  1. Tujuan Pembelajaran

Pada unit ini, peserta didik diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kesehariannya sesuai dengan perkembangan dan konteks peserta didik. Selain itu, peserta didik mampu mempresentasikan peluang dan tantangan penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan global.

Tantangan Ber-Pancasila dalam Kehidupan Global

Kita sedang berada pada abad ke-21. Abad ini ditandai dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat. Pertukaran informasi, penggunaan internet, pemanfaatan data besar (big data), dan teknologi otomatisasi adalah fenomena yang dapat dirasakan, terutama yang berada di perkotaan. Sejauh memiliki perangkat elektronik (devices), seperti smartphone dan laptop ditambah dengan jaringan internet, dapat membawa kalian melanglang buana, berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain, bahkan dengan orang yang sangat jauh sekali.

Fenomena ini tentu menjadi tantangan yang perlu kalian pecahkan. Mari kita membayangkan hal yang sederhana tentang pekerjaan. Pada tahun 1970an dan 1980an, orang yang memiliki mesin ketik dan kemampuan mengetik cepat akan dicari banyak orang, bisa menjadi pekerjaan yang dapat menghasilkan uang. Begitu juga menjadi loper koran pada tahun 1990an, merupakan pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Namun, jika kita hanya memiliki keterampilan itu pada masa sekarang, tentu tidak mudah mencari pekerjaan. Sebab, perkembangan teknologi sedemikian cepat, mengubah peluang dan tantangan zaman. Itulah salah satu tantangan yang mesti kita hadapi. Lalu, bagaimana tantangan tersebut berhubungan dengan konteks penerapan Pancasila? Mari kita lanjutkan pembahasannya lebih mendalam.

Tantangan Ideologi

Pada era teknologi informasi ini, Pancasila akan diuji seiring dengan masuknya ideologi-ideologi alternatif yang merangsek dengan cepat ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, Pancasila adalah ideologi negara yang harus dipatuhi dan menjadi pemersatu bangsa. Lalu, bagaimana jika ideologi-ideologi lain masuk ke masyarakat Indonesia yang notabene sudah ber-Pancasila.

Beberapa ideologi yang mulai masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan ber- bangsa dan bernegara adalah radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Kata radika- lisme seringkali diidentikkan dengan ekstremisme.

Sementara itu, terorisme dalam UU Nomor 15 Tahun 2003 didefinisikan sebagai penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran objek-objek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan fasilitas internasional.

Selain itu, yang tak kalah membahayakan, adalah konsumerisme. Konsumerisme adalah paham terhadap gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya. Dapat dikatakan pula konsumerisme adalah gaya hidup yang sifatnya tidak hemat. Sering kita saksikan di televisi ataupun media sosial perilaku-perilaku konsumtif yang berlebihan. Orang-orang yang terpapar ideologi ini cenderung akan senang dan bahagia membeli sesuatu, sekalipun tidak dibutuhkan. Tujuannya bisa beragam, mulai dari pamer, gengsi, mencari perhatian, hingga sekedar ikut-ikutan. Akibatnya, demi mencapai kebahagiannya yang terletak pada aktivitas membeli barang/sesuatu itu, seseorang bisa melakukan apa saja, sekalipun melanggar norma dan konstitusi.

Ekstremisme, radikalisme, terorisme, dan konsumerisme ini tentu bertentangan dengan Pancasila.

Hoaks dan Post Truth

Salah satu dampak lain dari meningkat pesatnya teknologi informasi adalah banjirnya informasi. Sebelum era media sosial seperti sekarang, informasi disampaikan hanya melalui lembaga-lembaga tertentu, baik dalam siaran radio, televisi, dan website. Namun, pada era sekarang ini, setiap dari kita menjadi konsumen dan produsen informasi sekaligus. Disebut konsumen, karena kita juga menerima dan menyerap beragam informasi dari berbagai kanal, baik berupa radio, televisi, maupun media sosial, seperti facebook, twitter dan Youtube. Kita semua juga bisa menjadi produsen informasi karena kita menyiarkan apa yang kita ketahui kepada publik luas melalui media sosial yang kita punya.

Dampaknya apa? Pertama, karena banjirnya informasi tersebut, kita disuguhi bermacam-macam informasi, baik yang penting ataupun yang tidak penting, baik yang valid kebenarannya ataupun yang tidak. Berada di dalam dunia teknologi informasi yang sangat pesat, ibarat kita berada dalam hutan belantara: kita bisa menjumpai apapun, mulai dari yang kita butuhkan sampai hal-hal yang tidak kita butuhkan, mulai dari hal yang bermanfaat sampai hal yang berbahaya. Akibatnya, kita seringkali kebingungan menentukan mana jalan keluar dan mana jalan yang menyesatkan.

Kedua, dampak lanjutan dari beredarnya hoaks tersebut, membawa kita pada suatu kondisi yang disebut dengan post-truth (pasca-kebenaran). Dalam kamus Oxford, makna post-truth adalah dikaburkannya publik dari fakta-fakta objektif. Post-truth adalah kondisi di mana fakta objektif tidak lagi memberikan pengaruh besar dalam membentuk opini publik, tetapi ditentukan oleh sentimen dan kepercayaan. Dalam anggapan mereka, kebenaran itu adalah hal-hal yang disampaikan berulang-berulang, sekalipun salah.

Ketiga, dampak yang lebih jauh adalah masyarakat mudah diprovokasi, diadu domba, dihasut, dan ditanamkan benih kebencian melalui informasi-informasi palsu yang terus-menerus disampaikan sehingga dianggap sebagai kebenaran. Akibatnya, permusuhan sesama bangsa Indonesia, kebencian kepada bangsa lain, upaya untuk memecah belah bangsa, dan sejumlah dampak negatif lainnya, dapat dengan mudah terjadi di tengah-tengah kita.

Tantangan Global

Betul bahwa kita semua adalah warga negara Indonesia. Itu dapat ditandai dengan sejumlah identitas ke-Indonesia-an, mulai dari Kartu Tanda Penduduk, Bendera Merah Putih, lambang Garuda Pancasila, bahasa Indonesia, serta bahasa daerah yang digunakan.

Selain sebagai warga negara Indonesia, kita juga menjadi warga negara dunia. Indonesia sebagai negara dan bangsa tidak dapat mengisolasi diri, tidak bergaul, dengan bangsa-bangsa lain dari negara lain. Terlebih dengan bantuan teknologi informasi, sekat-sekat batas negara itu menjadi tipis. Ketika kita dapat menggunakan bahasa internasional, seperti bahasa Inggris, tentunya kita dapat berinteraksi dengan bangsa- bangsa lain yang menggunakan bahasa yang sama.

Tak hanya berkomunikasi, pada saat bersamaan, kita juga bersaing dengan bangsa- bangsa lain. Persaingan ini juga terjadi dalam bidang pekerjaan. Karena itu, kita harus memiliki kompetensi dan keterampilan yang setara dengan bangsa-bangsa lain sehingga dapat bersaing pada abad ke-21 ini. Lalu, keterampilan apa saja yang dibutuhkan pada abad ke-21 ini?

Peluang Ber-Pancasila dalam Kehidupan Global

Setelah mengkaji dan mendiskusikan tantangan penerapan Pancasila dalam kehidupan global, saatnya kita mengkaji peluang yang kita miliki untuk dapat ber-Pancasila di kehidupan global. Kita perlu terus menampilkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam konteks global sehingga Pancasila dapat hadir memberikan solusi atas masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan global. Untuk itu, kalian perlu 1) memahami Pancasila dengan baik dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, 2) mampu menggunakan Pancasila sebagai penyelesaian masalah yang terjadi.

Ada beberapa langkah yang perlu kalian lakukan:

Bangsa yang religius, ramah dan damai

Kita patut berbangga menjadi bangsa Indonesia. Di antara karakteristik kuat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah religiusitas, keramahan, dan mencintai perdamaian.

Di Indonesia, ada banyak agama/kepercayaan, suku, ras, dan bahasa, yang kesemua- nya dapat hidup rukun. Kita masih memiliki sejumlah tradisi yang memberi semangat kerukunan dan perdamaian. Di Bali, ada tradisi Ngejot, tradisi berupa pertukaran makanan antarpemeluk agama yang berbeda. Tradisi ini dilakukan menjelang hari raya Galungan. Pertukaran makanan ini hanyalah simbol, esensinya adalah keakraban dan kekeluargaan sesama mereka, sekalipun berbeda agama.

Di Maluku, terdapat tradisi Pela Gandong. Pela diartikan sebagai “suatu relasi perjanjian persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain yang berada di pulau lain dan kadang menganut agama yang berbeda”. Sedangkan gandong bermakna “adik”.

Perjanjian ini diangkat dalam sumpah yang tidak boleh dilanggar. Pada saat upacara sumpah, campuran soppi (tuak) dan darah dari tubuh masing-masing pemimpin negeri akan diminum oleh kedua pemimpin setelah senjata dan alat-alat tajam lain di celupkan, atau dilakukan dengan memakan sirih pinang. Hubungan Pela ini terjadi karena suatu peristiwa yang melibatkan beberapa desa untuk saling membantu. Dalam ikatan Pela terdapat rangkaian nilai dan aturan mengikat dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan.

Di Papua, ada tradisi Bakar Batu. Tradisi ini dilakukan ketika terjadi konflik antarsuku, untuk mencari solusi. Tradisi ini mengandung filosofi kesederhanaan, ucapan syukur, dan perdamaian.

Masyarakat Dayak memiliki tradisi Bahaump. Bahaump merupakan kata lain dari musyawarah, sebuah budaya yang dimiliki tiap suku tetapi dengan sebutan yang berbeda. Selain itu, masyarakat Dayak juga memiliki kata yang mempersatukan setiap suku yang ada di Kalimantan Barat, “Adil Ka’Talino, Bacuramin Ka’Saruga, Basengat Ka’Jubata”. Artinya dalam hidup ini kita harus bersikap adil, jujur, dan tidak diskriminatif terhadap sesama manusia, dengan mengedepankan perbuatan-perbuatan baik seperti di surga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Masih ada banyak tradisi lain yang menggambarkan perdamaian atau bertujuan menyelesaikan konflik sehingga warga dapat hidup rukun. Kalian dapat menggali sejumlah tradisi di daerah kalian yang menurut kalian dapat menjadi pemersatu antarbangsa.

Selain kekayaan tradisi tersebut, bangsa Indonesia juga bangsa yang religius, bangsa yang memiliki spiritualitas tinggi karena keyakinan dan kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena keyakinannya yang tinggi kepada Tuhan, ajaran-ajaranNya juga dilaksanakan dengan baik. Bangsa Indonesia memandang manusia memiliki dua dimensi: jiwa dan raga atau jasmani dan rohani. Kedua dimensi tersebut harus seimbang. Karena itulah, bangsa Indonesia tidak pernah mendahulukan raga atau jasmani daripada rohani atau jiwa.

Pancasila Sebagai Kekuatan

Jika kita mengkaji nilai-nilai Pancasila secara mendalam, kita akan tahu bahwa nilai- nilai yang terkandung di dalamnya akan menjadi modal penting dalam kehidupan global ini.

Dengan nilai ketuhanan, bangsa Indonesia tidak terjebak pada ideologi materialis- me yang menempatkan materi di atas segala-galanya. Nilai-nilai agama yang dipegang teguh bangsa Indonesia menjadikan ia memiliki akhlak yang mulia, baik akhlak kepada sesama, kepada alam semesta, maupun akhlak sebagai warga negara.

Dengan sila kedua, bangsa Indonesia memahami dan menghargai setiap orang, sehingga ini menjadi modal penting untuk melawan segala bentuk yang tidak memanusiakan manusia, seperti melakukan diskriminasi, perundungan (bullying), streotip, dan kekerasan. Kemanusiaan yang diberi sifat “adil dan beradab” akan membawa bangsa Indonesia untuk selalu menjunjung tinggi tradisi, dan adat istiadat yang berlaku.

Dengan sila ketiga, bangsa Indonesia memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Sekalipun berbeda suku, etnis, bahasa, dan agama, bangsa Indonesia tetap dapat merajut persatuan demi kemajuan negara Indonesia.

Dengan sila keempat, bangsa Indonesia selalu mendahulukan musyawarah, sehingga segala bentuk perilaku main hakim sendiri tidak dibenarkan. Segala keputusan menyangkut kepentingan masyarakat luas selalu dilakukan melalui jalan musyawarah.

Dengan sila kelima, bangsa Indonesia senantiasa bersikap adil, bahwa setiap manusia memiliki hak asasi yang sama. Masyarakat mudah membantu orang lain yang berada dalam kesusahan, kemiskinan, dan lemah.

Meningkatkan Keterampilan Diri

Untuk meningkatkan peluang menerapkan Pancasila dalam kehidupan global, kalian perlu membekali diri dengan berbagai keterampilan penting yang dibutuhkan pada abad ini, seperti kolaborasi, komunikasi, literasi, dan lain sebagainya.

Kolaborasi sangat dibutuhkan, karena ada banyak hal yang tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri. Kehadiran sejumlah start up di Indonesia, misalnya, pada umumnya dilakukan secara kolaboratif, dengan melibatkan banyak orang untuk sama-sama berkontribusi demi mencapai tujuan bersama.

Komunikasi juga memiliki peran yang sangat penting. Komunikasi di sini bukan hanya sekedar menguasai bahasa asing, tetapi juga mengerti tradisi tempat bahasa itu berkembang. Karena bahasa adalah salah wujud dari kebudayaan. Dengan kemampuan komunikasi, kalian dapat menyampaikan pesan dengan baik.

Unit 4

Proyek Gotong Royong Kewarganegaraan

  1. Tujuan Pembelajaran

Peserta didik mampu membangun tim dan mengelola kerja sama untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan target yang sudah ditentukan, serta menyinkronkan kelompok agar para anggota kelompok dapat saling membantu satu sama lain memenuhi kebutuhan mereka, baik secara individual maupun kolektif, mampu mengupayakan memberi bantuan kepada orang yang membutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta masyarakat yang lebih luas (regional dan global).

Pada unit ini, peserta didik diajak untuk melaksanakan proyek gotong royong keawaraganegaraan yaitu (1) Bersahabat dengan sampah dan (2) Kantin kejujuran.

Aktivitas Belajar 1

Perhatikan Gambar dibawah ini :

Sampah merupakan salah satu masalah lingkungan hidup di Indonesia. Bahkan menurut hasil penelitian Jenna Jambeck dari University of Georgia (2017), Indonesia tercatat sebagai penyumbang sampah plastik terbesar di dunia setelah China. Jika tidak tertangani dengan baik, sampah dapat menimbulkan banyak masalah, seperti masalah kesehatan, lingkungan, sosial, dan ekonomi
 
Oleh karena itu, marilah kita mengadakan kegiatan/proyek yang penting dan bermanfaat untuk menjaga lingkungan hidup kita.
 
Sumber :
1.       Buku Paket PPKn Kelas XI. Tahun 2021. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Badan Standar , Kurikulum dan AsesmenPendidikanPusat Perbukuan .
 
 

Bhinneka Tunggal Ika

Unit 1

Mengidentifikasi Identitas Individu dan Identitas Kelompok

Jenis dan Pembentukan Identitas

“Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia”. Kita tentu sering mendengar atau mem-baca kalimat tersebut. Di sana kita menemukan dua kata yang menjadi frase yakni jati dan diri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jati diri diartikan sebagai keadaan atau ciri khusus seseorang. Padanan kata jati diri adalah identitas. Jadi, iden-titas dan jati diri akan digunakan secara bergantian untuk merujuk pada pengertian yang sama.

Setidaknya, ada dua pendapat besar tentang bagaimana identitas itu terbentuk. Pertama, ada yang beranggapan bahwa identitas itu given atau terberi. Identitas, da-lam pandangan kelompok ini, merupakan sesuatu yang menempel secara alamiah pada seseorang atau sebuah grup. Seseorang yang dilahirkan memiliki ciri isik ter-tentu, seperti berkulit putih, bermata biru, berambut keriting adalah contoh tentang bagaimana kita memahami identitas dalam diri sebagai sesuatu yang alamiah.

Kedua, identitas yang dipahami sebagai hasil dari sebuah desain atau rekayasa. Bangunan identitas seperti ini bisa dilakukan dalam persinggungannya dengan aspek budaya, sosial, ekonomi, dan lainnya. Berbeda halnya dengan identitas yang secara alamiah melekat pada diri manusia, identitas atau jati diri dalam pengertian ini, ter-lahir sebagai hasil interaksi sosial antarindividu atau antarkelompok. Jati diri sebuah bangsa adalah contoh bagaimana identitas itu dirumuskan, bukan diberikan secara natural.

Identitas Individu yang Alami

Saat ada bayi yang baru saja lahir, pertama-tama yang kita kenali tentu saja ciri-ciri isiknya. Warna kulit, jenis rambut, golongan darah, mata, hidung dan sebagainya, adalah sebagian dari ciri yang melekat pada bayi tersebut. Ciri isik seperti ini bisa kita sebut sebagai karakter atau identitas yang bersifat genetis. Ia melekat pada diri manusia dan dibawa serta sejak lahir.

Ciri isik manusia, sudah pasti berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka yang lahir dari rahim yang sama sekalipun, akan tumbuh dengan ciri isik yang berbeda. Termasuk juga mereka yang terlahir kembar. Ada identitas isik yang secara alamiah, membedakan dirinya dengan saudara kembarnya itu.

Di luar karakter isik, identitas individu juga bisa berasal dari aspek yang bersifat psikis. Misalnya, sabar, ramah, periang, dan seterusnya. Kita mengenali seseorang ka-rena sifatnya yang penyabar atau peramah. Sebetulnya, sifat ini juga bisa menjadi ciri dari kelompok tertentu. Namun, pada saat yang sama, kita bisa mengenali seseorang dengan karakter-karakter tersebut.

Identitas Individu yang Terbentuk Secara Sosial

Selain karakter yang terbentuk secara alamiah, kita bisa mengenali jati diri seseorang atau individu karena hasil pergumulannya dengan mereka yang ada di luar dirinya. Dari interaksi itu, lahirlah identitas individu yang terbentuk sebagai buah dari hu-bungan-hubungan keseharian dengan identitas di luar dirinya. Identitas diri itu ter-bentuk bisa karena pekerjaan, peran dalam masyarakat, jabatan di pemerintahan, dan sebagainya.

Salah satu contohnya adalah dalam hal pekerjaan. Kita mengenal berbagai macam jenis pekerjaan. Guru dan peserta didik salah satu contohnya. Seseorang menjadi guru karena ia menjalankan tugasnya untuk mengajar dan menyebarkan ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya. Ia sendiri tidak terlahir otomatis sebagai guru, tetapi identitasnya itu didapatkan karena ada pekerjaan yang dijalankannya.

Peserta didik adalah murid-murid yang diajar, menerima pengetahuan serta belajar bersama dengan guru. Identitas sebagai peserta didik tidak melekat sejak lahir, bukan sesuatu yang alamiah atau genetik. Peserta didik adalah jati diri yang tercipta karena seseorang datang ke sekolah dan mendatarkan diri untuk menjadi murid di sekolah tertentu.

Identitas Kelompok yang Alami

Selain melekat pada individu, ada juga identitas yang secara alamiah menjadi ciri dari kelompok. Jadi dalam suatu kelompok, ada individu-individu yang menjadi anggo-tanya dan memiliki ciri yang sama. Istilah ras atau race dalam bahasa Inggris, itulah salah satu contoh bagaimana yang alamiah melekat kepada sebuah kelompok. Ras digunakan untuk mengelompokkan manusia atas dasar lokasi-lokasi geograis, warna kulit serta bawaan isiologisnya seperti warna kulit, rambut, dan tulang. Ada banyak yang berpendapat tentang penggolongan ras ini. Salah satunya adalah penggolongan ras dalam lima kelompok besar yaitu “ras Kaukasoid”, “ras Mongoloid”, “ras Etiopia” (yang kemudian dinamakan “ras Negroid”), “ras Indian”, dan “ras Melayu.” (Blumenbach dalam Schaefer, 2008).

Identitas Kelompok yang Terbentuk secara Sosial

Selain terbentuk secara alamiah, jati diri sebuah kelompok juga bisa terbangun kare-na ciptaan. Seperti halnya identitas individu yang terbentuk karena interaksi mereka secara sosial, begitu pula halnya identitas kelompok. Mereka yang suka sepakbola, pasti mengenal banyak nama klub atau kesebelasan, baik di dalam maupun luar nege-ri. Contoh lain adalah organisasi peserta didik di sekolah. Identitas sebagai organisasi peserta didik merupakan jati diri yang terbentuk atau dibentuk. Lebih tepatnya difa-silitasi oleh pihak sekolah.

Bangsa dan negara adalah sebuah kelompok sosial. Setiap bangsa memiliki iden-titasnya masing-masing. Begitupun juga negara. Dasar, simbol, bahasa, lagu kebang-saan, serta warna bendera menjadi salah satu penanda sebuah negara. Sebagai ke-lompok, negara juga terbentuk secara sosial. Negara Indonesia dibentuk atas dasar perjuangan rakyatnya, baik yang dilakukan melalui berbagai medan pertempuran maupun upaya diplomasi di meja perundingan.

Pancasila, Identitas Bangsa Indonesia

Meski Ir. Soekarno yang menyampaikan pidato Pancasila pada 1 Juni 1945, tetapi lima dasar tersebut bukanlah identitas presiden pertama saja. Kelimanya merupakan identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Tanpa Pancasila, tidak ada Indonesia. Begitu-pun sebaliknya. Identitas Indonesia adalah Pancasila. Keduanya seperti dua sisi mata uang.

Darimana identitas Pancasila itu berasal?

Seperti berulangkali disampaikan Ir. Soekarno, dirinya bukanlah penemu Pancasila. Ia hanya menggali Pancasila dari bumi nusantara. Sebagai bangsa yang berciri Pancasila, maka sikap, pikiran, dan tindakan manusia Indonesia haruslah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Jangan sampai Pancasila selesai sebagai sebuah jargon, tetapi tidak terimplementasi dalam sikap dan perbuatan.

Tentang hal ini, Wakil Presiden kita pertama, Mohammad Hatta telah mengingat-kan bagaimana kita memaknai Pancasila. Hal tersebut ia sampaikan melalui pidato pada peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Ja-karta. Pancasila, Bung Hatta mengatakan, “…tidak boleh dijadikan amal di bibir saja,” karena jika demikian, “…berarti pengkhianatan pada diri sendiri.” Bung Hatta me-nambahkan, “Pancasila harus tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan dengan perbuatan.” (Hatta: 1978, 21).

“Pancasila tidak boleh dijadikan amal di bibir saja, itu berarti pengkhianatan pada diri sen-diri. Pancasila harus tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan dengan perbuatan. Sejak 5 Juli 1959 negara kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan dengan rumus Pancasila yang tertera di dalamnya berlaku lagi. Tetapi seperti dikatakan tadi ideologi dan tujuan neara tidak berubah. Perubahan dalam Pembukaan hanya memperkuat keduduk-an Pancasila sebagai pedoman dan mempertajam tujuan negara.”

Pancasila adalah identitas yang digali dari kearifan serta kekayaan nilai bumi Indonesia. Agar terus hidup sebagai ciri bangsa, Pancasila tidak sekadar dihafalkan, tetapi juga diamalkan. Pancasila adalah nilai yang hidup sebagai jati diri bangsa. Pada sebuah bangsa yang majemuk, Pancasila adalah jawaban yang tepat sebagai jati diri.

Dengan kekayaan yang dimiliki, Pancasila menjadi identitas bersama yang mengakui perbedaan-perbedaan di dalamnya. Meskipun di satu sisi keragaman adalah tantangan, tetapi, jika dikelola dengan baik, maka ia akan menjadi kekuatan yang saling menopang satu dengan lainnya. Pancasila hadir sebagai identitas yang mengakomodir dan menghargai perbedaan-perbedaan tersebut.

Sebagai makhluk sosial, ciri yang melekat pada manusia adalah keinginan untuk melakukan interaksi satu dengan lainnya. Interaksi sendiri berarti hubungan timbal balik yang dilakukan baik antarindividu, antarkelompok maupun individu dengan kelompok. Dalam interaksi, ada proses mempengaruhi tindakan kelompok atau in-dividu melalui sikap, aktivitas atau simbol tertentu. Orang akan mengenali yang lain melalui proses interaksi tersebut. Proses untuk mengenali yang lain, yang juga dilakukan oleh manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial bisa dijumpai melalui cara lain, yakni sosialisasi. Sosialisasi berarti penanaman atau penyebaran (diseminasi) adat, nilai, cara pandang atau pemahaman yang dilakukan oleh satu generasi kepada generasi berikutnya dalam sebuah masyarakat.

Unit 2

Mengenali, Menyadari dan Menghargai Keragaman Identitas

Mengenali dan Menyadari Keragaman Identitas

Melalui sosialisasi, seseorang atau sebuah kelompok menunjukkan nilai-nilai yang dianutnya. Tujuannya, bisa sebatas hanya mengenalkan atau bermaksud mem-pengaruhi yang lain. Dalam sebuah kelompok yang terdiri dari banyak individu, po-tensi munculnya perbedaan persepsi sangatlah besar. Masing-masing orang memiliki nilai serta pandangan yang menjadi identitasnya. Terhadap pandangan yang tidak sama itu, kemampuan untuk bernegosiasi sangatlah penting. Satu anggota kelompok dengan anggota lainnya, mencari titik temu agar ada satu identitas yang disepakati sebagai jati diri kelompok.

Terciptanya identitas kelompok, dengan demikian, mendapatkan pengaruh dari mereka yang menjadi anggotanya. Identitas sebuah grup merupakan hasil dari ru-musan dan kesepakatan yang diharapkan bisa menjadi media bagi kelompok lain ke-tika hendak mengenalinya. Di sini kita bisa menarik dua hal penting, yakni jati diri dan keragaman atau kebinekaan. Mengapa kebinekaan menjadi tema penting dalam kaitannya dengan masalah identitas atau jati diri?

Kita perhatikan bagaimana sebuah kelompok terbangun. Jika ada 10 individu dalam satu kelompok, itu berarti ada 10 cara pandang atau pendapat tentang apa dan bagaimana menciptakan jati diri kelompok tersebut. Begitu pula ketika 100 kelompok hendak menciptakan jati diri untuk satu kelompok besar. Kita akan mendapati 100 jati diri yang sedang berbincang tentang bagaimana menciptakan identitas bersama mereka.

Tugas besar yang membentang di hadapan kita sebagai sebuah bangsa yang besar adalah mengelola keragaman sebagai sebuah kekuatan yang saling mendukung satu dengan lainnya. Tidak ada cara lain bagi segenap elemen bangsa untuk terus meng-ingat dan menyadari eksistensi kita sebagai bangsa yang dicirikan oleh kebinekaan pada identitas kita yang bersifat primordial. Tak hanya menyadari, tetapi proses se-lanjutnya harus terus diupayakan, yakni mengenali keragaman-keragaman tersebut. Dalam setiap upaya pengenalan, ada tujuan mulia yang tersimpan di dalamnya, yakni menghargai setiap budaya, religi, suku, serta bahasa sebagai identitas khas dan unik yang melekat pada diri manusia.

Unit 3

Kolaborasi Antar Budaya di Indonesia

Tak hanya menghormati, kebudayaan-kebudayaan yang ada, baik dalam sebuah negara atau Indonesia adalah negara yang memayungi berbagai kebudayaan di dalamnya. Kebinekaan budaya difasilitasi dan dimajukan. Tak hanya itu, Indonesia memfasilitasi segala macam ragam kebudayaan yang berkolaborasi dari Sabang sampai Merauke. Kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan dari Aceh hingga Papua.
 
Mari kita cermati komposisi para peserta Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Di dalamnya, ada 70 anggota yang berlatarbela-kang suku dan agama yang tidak sama.
kebudayaan antarnegara, sebaiknya membangun sebuah kerja nyata yang menunjukkan bagaimana perbedaan itu bisa mendorong harmonisasi. Kolaborasi antarbudaya bisa menjadi agenda berikutnya.
 
Kolaborasi merupakan sebuah kerja sama yang dilakukan, baik individu maupun kelompok. Mereka yang terlibat dalam kerja sama itu mendasarkan dirinya pada nilai yang disepakati, komitmen yang dijaga serta keinginan untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa perbedaan latar belakang budaya, tidak menghalangi siapapun untuk bisa bekerja bersama-sama.
 
Dengan semangat kolaboratif, jati diri yang berbeda itu bisa bergandengan tangan menciptakan prakarya kebudayaan. Karena bersifat kolaborasi, maka identitas-iden-titas yang turut di dalamnya tidak kehilangan jati dirinya. Persis seperti gambaran tentang jati diri bangsa Indonesia yang berasal dari keragaman identitas yang masih sangat terjaga, meski dalam satu waktu, ada identitas yang secara bersama-sama dise-pakati sebagai identitas nasional.
KOMPAS.com – Indonesia merupakan negara yang beragama. Indonesia me-miliki suku bangsa, adat istiadat, budaya dan ras yang berbeda-beda tersebar di wilayah Indonesia.
 
Namun keberagaman tersebut terus dilakukan diuji dengan munculnya berbagai konlik yang terjadi diberbagai daerah. Konlik-konlik menimbulkan korban jiwa, luka-luka dan harus mengungsi. Diberitakan Kompas.com (23/12/2012), Yayasan Denny JA mencatat sela-ma 14 tahun setelah masa reformasi setidaknya ada 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut sebanyak 65 persen berlatar belakang agama. Sementara sisanya kekerasan etnik sekitar 20 persen, kekerasan gender seba-nyak 15 persen, kekerasan seksual ada 5 persen.
 
Dari banyak kasus yang terjadi tercatat ada beberapa konlik besar yang banyak memakan jatuh korban baik luka atau meninggal, luas konlik, dan ke-rugian material.
 
Berikut sejumlah beberapa konflik di Indonesia tersebut :
 
Konflik Ambon
 
Menurut Yayasan Denny JA, konlik Ambon, Maluku merupakan konlik terburuk yang terjadi di Indonesia setelah reformasi. Di mana telah menghi-langkan nyawa sekitar 10.000 orang. Diberitakan Kompas.com (19/1/2020), konlik Ambon berlangsung pada 1999 hingga 2003. Dalam konlik tersebut tercatat ribuan warga meninggal, ribuan rumah dan fasilitas umum termasuk tempat ibadah terbakar.
 
Bahkan ratusan ribu warga harus meninggalkan rumahnya untuk mengungsi dan meninggalkan Maluku atas konlik tersebut. Konik Ambon berlangsung selama empat tahun.
 
Konflik Sampit
 
Konflik Sampit, Kalimantan Tengah terjadi pada 2001. Konlik antaretnis tersebut berawal dari bentrokan antara warga Suku Dayak dan Suku Madura pada 18 Februari 2001. Diberitakan Kompas.com (13/6/2018), konlik tersebut meluas ke seluruh Provinsi Kalimantan Tengah, termasuk di ibu kota Palangkaraya.
 
Diduga, konlik tersebut terjadi karena persaingan di bidang ekonomi. Pada konflik tersebut Komnas HAM membentu Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Sampit. Menurut, Yayasan Denny JA, tercatat ada sekitar 469 orang meninggal da-lam konlik tersebut. Sebanyak 108.000 orang harus mengungsi.

Kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan yang berlangsung di Jakarta tersebut setidaknya banyak korban yang meninggal, pemerkosaan dan 70.000 orang harus mengungsi.

Kerusuhan tersebut terjadi pada 13-15 Mei 1998. Dikutip Kompas.com (13/5/2019), kerusuhan tersebut dilatarbelakangi terpilihnya kembali Soeharto sebagi presiden pada 11 Maret 1998.

Mahasiswa melakukan aksi turun ke jalan dan terjadi kericuhan dengan aparat. Dampaknya ada mahasiswa yang terluka dan meninggal. Tragedi berdarah juga menimpa mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta. Mahasiswa yang melakukan aksi harus berhadapan dengan aparat keamanan. Mediasi dilakukan dengan konsekuensi mahasiswa diminta kembali ke kam-pus Trisakti.

Namun, upaya ini tak sesuai rencana. Terdengar letusan senjata api yang membuat empat mahasiswa meninggal. Yakni Elang Mulia Lesmana, Haidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Sementara mahasiswa yang lain mengalami luka-luka. Kondisi itu membuat aksi mahasiswa semakin luas dan berlangsung bebe-rapa hari. Bahkan massa menduduki Gedung MPR/DPR.

Tragedi Trisaksi pada 12 Maret 1998 ini merupakan pemicu aksi yang lebih besar. Setelah korban mendapatkan perawatan, pihak Universitas Trisaksi menuntut aparat keamanan terkait peristiwa ini. Mereka menuntut aparat ber-tanggung jawab. Selain jatuh korban meninggal dan luka. Peristiwa tersebut juga menim-bulkan kerugian mencapai Rp 2,5 triliun.

Bulan Mei pun dikenang masyarakat Indonesia sebagai bulan duka atas munculnya korban jiwa akibat aksi kerusuhan. Besarnya kerusuhan itu menye-babkan situasi pemerintahan tidak stabil. Soeharto pun semakin sulit meme-gang kendali pemerintahannya. Pada 21 Mei 1998, Soeharto mundur sebagai presiden.

Rangkuman

  1. Dengan mempelajari latar belakang demograis anggota BPUPK, kita bisa menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara yang mencerminkan semangat kolaborasi. Anggota BPUPK yang berasal dari agama dan suku yang berbeda, bersepakat untuk membentuk identitas nasional yang tidak mereleksikan semangat kelompok, tetapi juga sekaligus memayungi kebutuhan semua kelompok.
  • Tindakan diskriminatif terhadap sesama anak bangsa yang berbeda suku, bahasa, golongan, dan agama, hakikatnya menyakiti diri kita sendiri.

Unit 4

Pertukaran Budaya Di Pentas Global

Mengenali Kearifan Masyarakat Dunia
 
Kalian akan belajar mengenai nilai, kearifan, tradisi, serta kebudayaan pada masyarakat di negara-negara lain.
 a.     Kebijakan atau nilai yang dimiliki sebuah bangsa tercermin tidak hanya dalam simbol negara tetapi ilosoi hidup. Kita bisa mengenalinya dalam berbagai tindakan yang dilakukannya.
 
b.     Salah satu yang bisa kita jadikan sebagai contoh bagaimana kearifan itu tercermin dalam perbuatan adalah kisah pendukung tim nasional Sepakbola Jepang https://www.panditfootball.com/cerita/211668/RPU/180704/menang-atau-kalah-tetap-pungut-sampah
 
c.     Bersama anggota kelompok lainnya, kalian silahkan mencari sebanyak-banyak-nya tradisi, adat-istiadat atau kebudayaan dari negara lain serta ilosoi yang mendasarinya. Lalu tuangkanlah dalam tabel sederhana.

Unit 5

Belajar Dari Kekayaan Tradisi

Apa arti penting dari keragaman tradisi yang kita miliki? Bagaimana kita me-maknai keragaman dalam kehidupan keseharian? Mula-mula tentu saja ada kebanggaan karena bagaimanapun juga keragaman tradisi yang dimiliki menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang kaya. Tak hanya itu, tradisi yang kaya tersebut pada perkembangannya bisa hidup saling berdamping-an, tidak saling menaikan satu dengan lainnya. Bayangkan, jika satu kebudayaan me-rasa dirinya lebih adiluhung daripada kebudayaan lain.

Apa arti penting dari keragaman tradisi yang kita miliki? Bagaimana kita me-maknai keragaman dalam kehidupan keseharian? Mula-mula tentu saja ada kebanggaan karena bagaimanapun juga keragaman tradisi yang dimiliki menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang kaya. Tak hanya itu, tradisi yang kaya tersebut pada perkembangannya bisa hidup saling berdamping-an, tidak saling menaikan satu dengan lainnya. Bayangkan, jika satu kebudayaan me-rasa dirinya lebih adil dari pada kebudayaan lain.

Di negara Indonesia, semua kebudayaan memiliki posisi yang sama. Tidak ada satu budaya yang lebih unggul atau lebih superior dibandingkan dengan budaya la-innya. Semua warga negara dengan segala identitas kelompok yang melekat padanya; agama, etnis, bahasa dan lainnya, berada pada payung yang sama. Mereka dijamin untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, dan diberi kesempatan yang sama pula untuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan serta tradisi leluhurnya.

Sebagai sebuah bangsa, kita telah cukup teruji sebagai negara yang mampu me-ngelola keragaman kebudayaan tersebut, sehingga terhindar dari disintegrasi. Kita telah melewati ujian yang sangat menentukan, terutama ketika pada masa reformasi tahun 1998. Konlik bernuansa etnis dan agama, banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Namun, fase tersebut bisa dilewati dengan baik, meski tentu saja tidak sempurna. Kita pun terhindar dari perpecahan.

Kebanggaan akan tradisi dan budaya, sebaiknya tidak hanya berhenti sebatas perayaan saja. Tradisi tidak hanya perlu dilestarikan agar terjaga dari kerusakan. Lebih dari itu, tradisi harus terus dihidupkan sekaligus dikukuhkan. Nilainya perlu dipertahankan dalam situasi yang terus berubah. Tantangan yang dihadapi saat ini datang dari berbagai dimensi (sosial, ekonomi, budaya) serta berasal dari semua arah (lokal, nasional dan internasional).

Aktivitas Belajar

  1. Sebagai pembuka pertemuan, kalian berdiskusi tentang tema “Kearifan Lokal Bangsa Indonesia” yang dipantik melalui pertanyaan: (1) Apakah yang dibang-gakan dari negara Indonesia?, (2) Apa yang perlu dipertahankan dan harus terus ditingkatkan?
  • Secara individu maupun kelompok, kalian mengidentiikasi kekayaan tradisi bangsa kita ke dalam 4 atau lebih kategori. Misalnya, Masakan, Makanan, Mi-numan atau Kuliner, Adat Istiadat atau Filosoi Hidup, Kesenian, Pakaian, dan lainnya.
  • Masing-masing peserta didik atau kelompok menuliskan jenis tradisi tersebut dan mempresentasikannya.

“Atanggae”

Sekian

“Yakin Usaha Sampai”

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Bagian 2: UUD NRI Tahun 1945

Pancasila

Menjadi ideologi, falsafa dan sumber dari segala sumber hukum. Digali dari tradisi dan pengalaman hidup rakyat Indonesia selama berabad-abad.

Konsitusi UUD NRI Tahun 1945
Menjadi sumber hukum yang tertulis di Indonesia. Seluruh peraturan Perundang-Undangan di Indonesia bersumber dari Konstitusi UUD NRI Thn 1945.
UUD NRI Tahun 1945 merupakan hukum dasar yag mengatur bagimana Negara dikelola dan hubungan antar Negara dan warga negara
Norma Merujuk kepada Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan sumber-sumber aturan yang lain, seperi agama dan tradisi, merupakan peraturan agar interaksi sosial terjadi harmoni, saling menghormati, kerja sama dan tolong menolong.  

Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Maknanya, semua produk hukum atau perundang-undangan yang ada di Indonesia, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang menjadi pedoman dalam kehidupan ketatanega-raan Indonesia, maupun kaidah yang dijadikan pedoman dalam hubungan antarma-syarakat, semuanya harus bersumber dari Pancasila. Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa dan negara Indonesia. Ia sekaligus menjadi dasar dari cita-cita pendiri-an negara Indonesia.

UUD NRI Tahun 1945 merupakan hukum dasar tertulis konstitusi di Indonesia. Artinya, keberadaannya menjadi dasar hukum atau sumber hukum tertinggi di Indonesia. Keseluruhan sistem ketatanegaraan Indonesia melandaskan kepada UUD NRI Tahun 1945. Ia sekaligus dijadikan asas dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak dan kewajiban pemerintah, serta hak dan kewajiban warga negara.

UUD NRI Tahun 1945 menjadi dasar bagi seluruh regulasi (aturan perun-dang-undangan) yang diterbitkan di Indonesia, baik berlaku di tingkat nasional mau-pun daerah. Banyaknya jumlah regulasi menandakan banyaknya wilayah yang diatur agar saling terjaga. Oleh karena itu, antarregulasi hendaknya sinkron, tidak tumpang tindih, apalagi saling menaikan.

Cita-cita berbangsa dan bernegara termuat dalam Pancasila. Aturan dalam ber-negara sudah ditulis dalam UUD NRI Tahun 1945 dan berbagai regulasi turunannya. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat, ada aturan kultural yang tertulis tapi leb-ih banyak hanya menjadi kesepakatan bersama tak tertulis yang disebut sebagai norma. Ia dirumuskan dari pengalaman hidup masyarakat dan dilaksanakan dalam hubungan horizontal antarmasyarakat.

Antara norma dan konstitusi memang berbeda. Namun, keduanya sama-sama melandaskan pada Pancasila. Sebagai anggota masyarakat dan warga negara, hendaknya kita mengerti dan mengamalkannya. Baik aturan perundang-undang-an maupun norma, keduanya harus senantiasa kita jadikan pedoman, untuk menguatkan jalan pencapaian cita-cita dalam berbangsa dan bernegara.

C. Capaian Pembelajaran

Capaian pembelajaran pada bagian ini adalah peserta didik dapat:

  1. Mengkaji secara kritis norma dan aturan, hak dan kewajiban sebagai warga negara, serta bagaimana implementasinya
  2. Mempraktikkan membuat kesepakatan bersama di sekolah terkait dengan norma peserta didik yang harus dipatahui oleh seluruh peserta didik.
  3. Mengidentiikasi adanya kesesuaian, tumpang tindih, dan pertentangan anta-ra satu regulasi dengan regulasi lainnya.

D. Strategi Pembelajaran

Belajar itu harus asyik. Kita menjalani proses belajar dengan rileks tetapi serius. Kita tetap menjaga konsentrasi tetapi tidak perlu sampai tegang. Kita akan belajar dengan cara-cara seperti itu.

  1. Proses belajar yang kita lakukan menggunakan pendekatan peserta didik seba-gai pusat belajar (student centered learning). Dalam pendekatan ini, peserta didik berperan aktif dalam proses pembelajaran, sedangkan guru lebih banyak berpe-ran sebagai fasilitator.
  2. Kita akan menggunakan metode belajar yang asyik, yang membuat interaksi antar-peserta didik atau antara peserta didik dengan guru lebih bersifat dialogis (dua arah). Kelas kita akan menggunakan metode seperti diskusi kelompok, udar gagasan (brainstorming), bermain peran (role playing), dan lain-lain.
  3. Pengalaman kita sebagai peserta didik menjadi bagian penting dalam proses pem-belajaran. Peserta didik diharapkan aktif menyampaikan pengalaman keseharian dalam proses belajar, termasuk dalam menyampaikan gagasan dan berdebat.
  4. Kita belajar dengan harapan akan meluaskan cakrawala pengetahuan kita. Namun, kita juga ingin agar ada tindak lanjut dari pengetahuan yang kita miliki. Kita harus memiliki komitmen untuk menerapkan apa yang telah kita ketahui. Komitmen tersebut kemudian diteruskan dengan tindakan nyata.
  5. Nantinya kita akan mencoba mengerjakan soal-soal yang dapat menguji pengu-asaan kita terhadap materi. Penguasaan bukan hanya di tingkat kognitif, tetapi juga penguasaan materi yang terkait dengan gerakan nyata dalam kehidupan kita.

Unit 1

Pengenalan Konstitusi dalam Pengelaman Kehidupan Sehari-hari

Tujuan Pembelajaran
Peserta didik dapat mendeskripsikan dan membuat kesimpulan penting terkait dengan materi yang dipelajari, yakni Deinisi Konstitusi, Tujuan Konstitusi, Jenis Konstitusi, Sejarah Perubahan Konstitusi UUD NRI Tahun 1945, dan mengaitkan dengan pasal atau ayat dalam Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 yang dirasakan terkait dengan pengalaman hidup sehari-hari, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya
Konstitusi UUD NRI Tahun 1945
Konstitusi merupakan pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan sebelum atau sesudah berdiri sebuah negara. Konstitusi sebuah negara merupakan hukum dasar tertinggi yang berisi tata penyelenggaraan negara. Peru-bahan sebuah konstitusi akan membawa perubahan besar terhadap sebuah negara. Bahkan termasuk sistem bernegara, yang semula demokratis bisa menjadi otoriter disebabkan perubahan konstitusi.
Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental sifat-nya. Konstitusi merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, konstitusi se-bagai hukum tertinggi sebuah negara harus dimaksudkan untuk mencapai dan me-wujudkan tujuan tertinggi bernegara.
Dalam konteks negara Indonesia, tujuan tertinggi bernegara adalah seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yakni: 1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) Memajukan kesejahteraan umum; 3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Konstitusi adalah mengidentiikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-penggunaan, dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum, dan dapat memberikan perhatian kepada pembatasan kekuasaan.
Ada 2 macam konstitusi, yakni tertulis dan tidak tertulis. Indonesia memiliki UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis dan konvensi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konvensi adalah permufakatan atau kesepakatan (terutama mengenai adat, tradisi, dan sebagainya). Konvensi merupakan aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara (dilakukan terus menerus dan berulang-ulang) dalam praktik penyelenggaraan negara tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan pelengkap atau pengisi kekosongan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan negara. Contohnya adalah Pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Dalam hie-rarki perundang-undangan, UUD NRI Tahun 1945 menduduki posisi nomor satu.
Berdasarkan sejarahnya, ternyata UUD NRI Tahun 1945 sejak disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah mengalami beberapa kali perubahan, bahkan pergantian. Perubahan ini terjadi karena dipengaruhi oleh keadaan dan dinamika politik yang berkembang dan terjadi di Negara Indonesia.
Setelah berlaku cukup lama, tanpa ada yang berani mengusulkan perubahan atau mengganti UUD NRI Tahun 1945, maka pada tahun 1999 sampai 2002, seiring de-ngan terjadinya reformasi di Indonesia, UUD NRI Tahun 1945 mengalami perubah-an sebanyak 4 kali.
Salah satu hasil perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945 adalah mengenai sistematikanya. Sebelum amandemen, sistematika UUD NRI Tahun 1945 terdiri atas: Pembukaan, Batang Tubuh (37 pasal, 16 bab, 49 ayat), 4 pasal Aturan Perali-han, dan 2 ayat Aturan Tambahan. Setelah amandemen, sistematika UUD Tahun 1945 menjadi: Pembukaan (tetap 4 alinea), Batang Tubuh (21 bab, 73 pasal dan 170 ayat), 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan.
Selain itu, dari segi perubahan kualitatif, amandemen UUD NRI Tahun 1945 telah mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula oleh MPR menjadi dilaksa-nakan menurut undang-undang. Hal tersebut menyebabkan posisi lembaga negara dalam level yang sederajat, masing-masing melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenang yang dimiliki. Presiden yang semula memiliki kekuasaan besar menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances). Dengan cara demikian, cita nega-ra yang hendak dibangun adalah negara hukum yang demokratis.
Secara garis besar, perubahan paska amandemen adalah sebagai berikut:
1.     Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, peng-hormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law;
2.     Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim;
3.     Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-Undang berdasarkan fungsi ma-sing-masing;
4.     Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD NRI Tahun 1945;
5.     Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

UUD NRI Tahun 1945 dalam Kehidupan Sehari-hari

Kalau kita cermati pasal-pasal yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945, ada banyak pasal yang bersentuhan langsung dengan kehidupan seluruh warga negara. Berikut adalah beberapa pasal yang dimaksud:

Terkait dengan Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 27
(1)   Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2)  Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(3)   Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
 
Terkait dengan Pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM)
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B
(1)  Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
(2)  Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta ber-hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 28C

  1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar-nya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengeta-huan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
  2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

Pasal 28D

  1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hu-kum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
  2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
  3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
  4. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

Pasal 28E

  1. Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memi-lih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
  2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
  3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 28F

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk me-ngembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, mem-peroleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 28G

  1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, mar-tabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat se-suatu yang merupakan hak asasi.
  2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendah-kan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

Pasal 28H

  1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan men-dapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pela-yanan kesehatan.
  2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk mempero-leh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
  3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan di-rinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
  4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Pasal 28I

  1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keada-an apapun.
  2. Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskri-minatif itu.
  3. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan per-kembangan zaman dan peradaban.
  4. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
  • Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 28J

  1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehi-dupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Terkait dengan Jaminan Beragama

Pasal 29

  1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Terkait dengan Bela Negara

Pasal 30

  1. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Terkait dengan Pendidikan dan Kebudayaan

Pasal 31

  1. Setiap warga negara berhak mendapat Pendidikan.

2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan na-sional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran penda-patan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendi-dikan nasional.

5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Pasal 32

  1. Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembang-kan nilai-nilai budayanya.
  2. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Terkait dengan Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial

Pasal 33

  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hi-dup orang banyak dikuasai oleh negara.
  3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh ne-gara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi de-ngan prinsip kebersamaan, eisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-un-dang.

Pasal 34

  1. Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
  2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan mem-berdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
  3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fa-silitas pelayanan umum yang layak.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

3. Lembar Kerja

  1. Tuliskan secara ringkas sejarah perubahan UUD NRI Tahun 1945 (cukup 2-3 alinea)
  2. Sebutkan minimal 3 pasal dan ayat yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945 yang terkait dengan kehidupan kalian sehari-hari.
  3. Bagaimana perasaan dan apa yang akan kalian lakukan setelah mengetahui kaitan antara UUD NRI Tahun 1945 dengan kehidupan sehari-hari?
  • Releksi

Setelah melalui proses belajar hari ini, saatnya kalian melakukan releksi terhadap diri sendiri dengan menjawab pertanyaan yang dapat membantu kalian untuk bereleksi:

  1. Dari proses belajar hari ini, hal yang saya pahami adalah
  2. Dari proses belajar hari ini, hal yang belum saya pahami adalah/saya ingin me-ngetahui lebih dalam tentang
  3. Dari proses belajar hari ini, hal yang akan saya lakukan dalam kehidupan se-hari-hari

5. Rangkuman

  1. Ada dua materi utama yang dibahas dalam bagian ini, yaitu Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar tertulis, dan identiikasi pasal atau ayat dalam Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 yang terkait dengan kehidupan kita sehari-hari.
  2. Konstitusi merupakan pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan sebelum atau sesudah berdiri sebuah negara. Konstitusi se-buah negara merupakan hukum dasar tertinggi yang berisi tata penyelenggaraan negara. Perubahan sebuah konstitusi akan membawa perubahan besar terhadap sebuah negara. Bahkan termasuk sistem bernegara, yang semula demokratis bisa menjadi otoriter disebabkan perubahan konstitusi.
  3. Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental si-fatnya. Konstitusi merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi ben-tuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, konstitusi sebagai hukum tertinggi sebuah negara harus dimaksudkan untuk mencapai dan mewujudkan tujuan tertinggi bernegara.
  4. Ada 2 macam konstitusi, yakni tertulis dan tidak tertulis. Indonesia memiliki UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi tertulis dan konvensi. Konvensi me-rupakan aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penye-lenggaraan negara yang tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan pelengkap atau pengisi kekosongan yang timbul dalam praktik penyelenggaraan negara. Contohnya adalah Pidato Presiden setiap 16 Agustus.
  5. Berdasarkan sejarahnya, UUD NRI Tahun 1945 sejak disahkan oleh Panitia Persi-apan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah mengalami beberapa kali perubahan, bahkan pergantian. UUD NRI Tahun 1945 untuk pertama kalinya diganti oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Sejak tanggal 17 Agustus 1950 Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS tahun 1950. Pada 5 Juli 1959, presiden mengeluarkan dekrit, yang menyatakan kembali ke UUD NRI Tahun 1945 pertama (hasil pengesahan dan penetapan PPKI). Dan, pada tahun 1999 sampai 2002, UUD NRI Tahun 1945 mengalami perubahan sebanyak 4 kali.
  6. Kalau kita cermati, banyak pasal dan ayat dalam UUD NRI Tahun 1945 yang bersentuhan langsung dengan kehidupan seluruh warga negara. Seperti Pasal 28 A sampai 28 J, yang terkait dengan pemenuhan hak asasi manusia, Pasal 29 tentang kebebasan dan perlindungan agama, Pasal 31 dan 32 yang terkait de-ngan hak memperoleh pendidikan, serta Pasal 33 dan 34 yang terkait dengan perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.

Unit 2:

Pengenalan Norma Dalam Kehidupan Sehari-hari

Tentang Norma
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online, norma memiliki 2 mak-na. Pertama, aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyara-kat. Ia dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima. Dalam pengertian ini, maka norma adalah sesuatu yang berlaku dan setiap warga harus menaatinya. Kedua, aturan, ukuran, atau kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu.
 
Ada 4 jenis Norma, yakni:
1)     Norma Susila: aturan pergaulan dalam masyarakat yang bersumber dari hati nu-rani manusia yang berkaitan dengan pemahaman baik dan buruk yang ada dalam kehidupan masyarakat, seperti pergaulan antara pria dan wanita;
2)     Norma Sosial: aturan pergaulan dalam masyarakat yang menata tindakan manu-sia dalam pergaulan dengan sesamanya, seperti bagaimana berbicara dan bertin-dak yang sopan; Norma diperlukan agar interaksi antarmanusia dapat berjalan dengan baik, saling menghormati, saling memberi, tolong menolong dalam kebajikan, dan menyayangi. Norma menjadi harapan agar kehidupan dapat berjalan secara harmonis, tidak saling mem-benci dan bermusuhan. Norma menjadi cara agar penyelenggaraan kehidupan dapat berjalan dengan indah. Ia ada jauh lebih dahulu dibanding Konstitusi, sifatnya kadang Universal
 
 
Norma merupakan kesepakatan sosial. Kisi-kisi kesepakatan dapat bersumber dari manapun dari hati nurani manusia, dari pergaulan antarmanusia dalam masya-rakat, dari Tuhan Yang Maha Esa melalui ajaran agama, dan bersumber dari hukum atau peraturan perundang-undangan. Usia norma dapat panjang, dapat pula pendek. Terkadang, norma menyesuaikan perkembangan zaman. Oleh karena itu, aturan main dalam norma dapat berubah setiap saat. Terkadang rigid (kaku) tetapi terka-dang sangat felsibel. .
Sebagai warga negara, kita mendasarkan kepada perundang-undangan yang ditetapkan oleh penyelenggara negara. Dan sebagai anggota masyarakat, kita men-dasarkan kepada aturan main bersama, yang terkadang disebut norma dan kadang disebut tradisi atau adat. Jika konstitusi ada yang tertulis dan tidak tertulis, maka nor-ma pun demikian: terkadang tertulis dan terkadang sekedar dituturkan sebagai sabda suci untuk aturan bermasyarakat.
Bila konstitusi atau regulasi negara memiliki ganjaran (reward) dan hukuman (punishment), demikian juga dengan norma. Dalam norma, yang melanggar akan mendapat hukuman dengan ketentuan yang telah disepakati anggota masyarakat. Dan yang menunaikan norma dengan baik, maka seseorang akan mendapatkan ganjaran, setidaknya berupa pujian. Hadiah dan hukuman dalam norma, terkadang berupa pemberian dan sanksi sosial (kultural). Bukan pemberian material ataupun hukuman isik, tetapi berupa pujian karena melaksanakan norma, atau gunjingan (bahkan dijauhi) karena melanggar aturan yang telah disepakati dalam norma.
Contoh norma dalam kehidupan sehari-hari adalah Peraturan RT. Di dalamnya, misalnya, tentang bagaimana cara untuk mengurus KTP atau mendapatkan Pengan-tar Surat bila ingin mengurus izin berusaha di tingkat desa sampai kabupaten/kota. Ada aturan yang lebih sederhana, bagaimana agar semua warga tiap malam ikut ron-da kampung untuk menjaga keamanan.
Ada pula norma yang tidak ditulis, seperti antartetangga harus saling membantu jika ada kesulitan. Antarwarga tidak boleh melakukan aktivitas yang dapat meng-ganggu tetangga, seperti membunyikan musik keras-keras, dan lain sebagainya.
Di lembaga pendidikan, seperti sekolah tempat kita menuntut ilmu, ada pula aturan main. Ada banyak pasal-pasal yang tertulis dan ada aturan main yang tidak tertulis. Yang tertulis, antara lain, dalam bentuk tata tertib peserta didik dalam kelas. Yang tidak tertulis, misalnya, peserta didik harus saling membantu bila ada kesulitan dan saling menghormati atas perbedaan.

5. Rangkuman

  1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online, norma memiliki 2 makna. Pertama, aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima. Dalam pengertian ini, maka norma adalah sesuatu yang ber-laku dan setiap warga harus menaatinya. Kedua, aturan, ukuran, atau kaidah yang dipakai sebagai tolak ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu.
  2. Norma diperlukan agar interaksi antarmanusia dapat berjalan dengan baik, sa-ling menghormati, saling memberi, tolong menolong dalam kebajikan, dan me-nyayangi. Norma merupakan kesepakatan sosial. Kisi-kisi kesepakatan dapat bersumber dari manapun: dari ajaran agama, hubungan sosial, aturan kesusilaan, maupun hukum formal. Aturan main dalam norma terkadang rigid (kaku) tetapi terkadang sangat leksibel.
  3. Bila konstitusi atau regulasi negara memiliki ganjaran (reward) dan hukuman (punishment), demikian juga dengan norma. Dalam norma, yang melanggar akan mendapat hukuman dengan ketentuan yang telah disepakati anggota ma-syarakat. Hadiah dan hukuman, dalam norma, terkadang berupa pemberian dan sanksi sosial (kultural). Bukan pemberian material atau hukuman isik.

Ada pula norma yang tidak ditulis, seperti antartetangga harus saling membantu bila ada kesulitan. Antarwarga tidak boleh melakukan aktivitas yang dapat mengganggu tetangga, seperti membunyikan musik keras-keras, dan lain sebagainya. Di lembaga pendidikan seperti sekolah, tempat kita menuntut ilmu, ada pula aturan main. Yang tertulis antara lain dalam bentuk Tata Tertib Peserta Didik dalam Kelas. Yang tidak tertulis, misalnya, peserta didik harus saling membantu bila ada kesulitan, dan saling menghormati atas perbedaan.

Unit : 3

Hubungan Pancasila dan dengan UUD NRI Tahun 1945

Hubungan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945

Posisi Pancasila

Lima sila Pancasila dituliskan dengan tinta abadi dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Kelima sila tersebut digali dari nilai-nilai dan tradisi yang berkembang selama berabad-abad di negeri Indonesia. Nilai-nilai dan tradisi yang baik dirumuskan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers) kita dalam 5 sila. Pancasila menjadi landas-an dalam pelaksanaan cita-cita berbangsa dan bernegara Indonesia Raya. Oleh karena itu, Pancasila menjadi sumber segala sumber hukum negara.

Kita bersyukur dipimpin oleh para pendiri bangsa yang arif dan visioner. Mereka menyadari tentang pentingnya menjaga kemajemukan demi persatuan Indonesia. Oleh karena itu, dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, mereka bersepakat mengubah rumusan sila pertama Pancasila ketika akan disepakati masuk dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Dari yang semula “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang telah disepakati dalam Piagam Jakarta, diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta dasar ilosoi negara berarti setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Sejarah memberikan pelajaran yang berharga bagi kita. Setelah sila pertama Pancasila berubah, selanjutnya kearifan para pendiri bangsa turut mengubah dua hal. Kata “Mukadimah” dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 berubah menjadi “Pembukaan”. Dan ketentuan Pasal 6 ayat (1) yang semula menetapkan “Presiden ia-lah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, disepakati syarat beragama Islam tidak dimasukkan dalam pasal tersebut. Untuk Indonesia raya, maka kita jaga Indonesia dalam kebinekaan. Dan para pendiri bangsa dan kita dapat membumikan nilai-nilai Pancasila ke dalam kenyataan

Pancasila adalah titik temu seluruh warga negara Indonesia, dari latar belakang apapun. Ia dapat menyatukan keragaman bangsa Indonesia. Pancasila juga dapat menjadi asas tunggal dalam tatanan struktur dan kultur bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila menjadi keputusan inal sebagai landasan bangsa dan negara Indonesia.
Pancasila adalah norma dasar (grundnorm) yang menjadi sumber dari segala sumber hukum negara. Maknanya adalah kehendak mencari titik temu dalam menghadirkan kemaslahatan-kebahagiaan hidup bersama. Oleh karena itu, persatuan Indonesia harus menghadirkan negara untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Negara harus hadir untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia, yang berdasar kepada kedaulatan rakyat dalam permusyawaratan perwakilan
 
. UUD NRI Tahun 1945 Sebagai Dasar Hukum
Di bawah Pancasila adalah UUD NRI Tahun 1945. Hubungan antara Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 sangat erat. Lima sila Pancasila terpatri rapi dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu pula, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tidak bisa diamandemen seperti Batang Tubuh dan Penjelasan UUD NRI Tahun 1945.
Menurut Mahkamah Konstitusi, yang tunduk pada ketentuan tentang perubah-an Undang-Undang Dasar hanya pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945, tidak termasuk Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Pancasila adalah bagian tidak terpisahkan dari Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, maka dengan sendirinya tidak terdapat ruang untuk secara konstitusional mengubah Pancasila sebagai dasar negara.
UUD NRI Tahun 1945 adalah hukum dasar dalam peraturan perundang-undang-an di Indonesia. Menurut penjelasan Pasal 3 UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pem-bentukan Peraturan Perundang-undangan, maksud “hukum dasar” adalah norma dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUD NRI Tahun 1945 selalu mendasarkan kepada Panca-sila yang tertulis dalam Pem-bukaan UUD NRI Tahun 1945 beserta rangkaian cita-cita berbangsa dan bernegara. Hukum tata negara, tata pe-merintahan, hubungan negara dengan warga negara, yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, semua mendasarkan kepada 5 sila Pancasila.
UUD NRI Tahun 1945 adalah hukum dasar dalam peratur-an perundang-undangan di Indonesia. UUD NRI Tahun 1945 adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di ba-wah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Rangkuman

  1. Pancasila menjadi sumber segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat. Berarti setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
  2. Pancasila adalah titik temu seluruh warga negara Indonesia. Ia menjadi titik temu yang dapat menyatukan keragaman bangsa Indonesia. Pancasila juga dapat menjadi asas tunggal dalam tatanan struktur dan kultul bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, persatuan Indonesia harus menghadirkan negara untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
  3. Di bawah Pancasila adalah UUD NRI Tahun 1945. Kita dapat menunjukkan beberapa pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, untuk menggambarkan pasal-pasal yang dirumuskan terkait erat dengan 5 sila Pancasila yang terekam dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945 merupakan salah satu terjemahan dan sekaligus upaya pelaksanaan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945 erat kaitannya dengan usaha pelaksanaan sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.

Unit 4

Membuat Kesepakatan Bersama

1.    Tujuan Pembelajaran
 
Peserta didik dapat menganalisis dan mempraktikkan bagaimana membuat sebuah kesepakatan bersama dalam sebuah pertemuan.
1. Membuat Kesepakatan Bersama
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kesepakatan berarti perihal sepakat atau maknanya konsensus. Sedangkan makna konsensus adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dan sebagainya) yang dicapai melalui kebulatan suara.
Jika ditelusuri lebih lanjut, kesepakatan bersama juga terkait dengan negosiasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendeinisikan negosiasi sebagai: 1) proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain; atau 2) penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang bersengketa.
Kesepakatan Bersama bisa terjadi hanya antara dua orang atau lebih. Hubungan antara 2 orang, apalagi dalam sebuah perjalanan bersama, tentu memerlukan kesepa-katan bersama. Kesepakatan bersama juga bisa dilakukan dalam kesatuan sosial ter-kecil, yakni keluarga. Antara Orang tua dan anak bisa dibangun kesepakatan bersama agar keluarga menjadi lebih asyik, lebih dinamis, dan saling mendukung.
 
Kesepakatan bersama dapat dikaitkan dengan integrasi sosial. Terciptanya kese-pakatan bersama mengenai norma-norma dan nilai-nilai sosial sangat penting untuk menguatkan integrasi sosial. Integrasi sosial merupakan proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga mengha-silkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Integrasi sosial diperlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan isik maupun konlik yang terjadi secara sosial budaya. Dalam integrasi sosial, kesepakatan bersama mewujud dalam bentuk asimiliasi (pembauran kebudayaan) dan akulturasi (penerimaan sebagian unsur asing).
1Dengan demikian dapat disampaikan bahwa Kesepakatan Bersama merupakan kesepakatan kata atau permufakatan bersama dalam sebuah proses negosiasi terma-suk dalam negosiasi untuk terciptanya integrasi sosial. Kesepakatan bersama diperlu-kan di antara unsur-unsur atau para pihak yang berbeda untuk menghindari konlik dalam kehidupan bersama.
Dalam kepemimpinan, membangun dan mencapai kesepakatan bersama juga memerlukan jiwa yang tangguh dan siap menjalankan prinsip-prinsip berdemokrasi, seperti kesamaan di depan hukum, tidak boleh ada diskriminasi, senantiasa bersikap toleran, dan menghargai hak dari setiap orang atau pihak lain. Dengan cara demikian, diharapkan kesepakatan bersama bisa benar-benar menjadi panduan dalam berhu-bungan dan bergandeng tangan. Dengan cara demikian pula, kesepakatan bersama yang ada sungguh-sungguh mencerminkan kehendak bersama, bukan hanya men-cerminkan kehendak pimpinan atau pihak tertentu saja. Mari kita coba melihat ber-sama: “Apakah sebuah norma yang ada di sekitar kita benar-benar berangkat dari sebuah kesepakatan bersama”?

Unit  5

Produk dan Hirarki Perundang-Undangan

Produk dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Per-undang-undangan.

Tabel : Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Saat ini kita memiliki UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang ini mencakup tahap-an perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan sebuah peraturan perundang-undangan. Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Kunjungan Kerja, Sosialisasi, dan atau melalui forum-forum seminar, lokakarya atau diskusi.
Mengapa undang-undang ini dipandang penting, beberapa pertimbangan di antaranya adalah sebagai berikut:
a.     Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
 
b.     Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.
Setidaknya ada tujuh jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, berikut adalah jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terdiri atas:
a.     Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.     Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.     Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.     Peraturan Pemerintah;
e.     Peraturan Presiden;
f.      Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.     Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Siapa yang berwenang menetapkan atau mengesahkan dan apa materi muatan masing-masing perundang-undangan tersebut? Berikut adalah datar jenis peraturan perundang-undangan, yang berwenang menetapkan atau mengesahkan, dan materi muatan yang diatur.

Siapa yang berwenang menetapkan atau mengesahkan dan apa materi muatan masing-masing perundang-undangan tersebut? Berikut adalah datar jenis peraturan perundang-undangan, yang berwenang menetapkan atau mengesahkan, dan materi muatan yang diatur.

Selain 7 jenis peraturan perundang-undangan di atas, Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 juga mengakui jenis perundang-undangan yang lain, yaitu peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau setingkat. Dengan ketentuan ini, maka kita menemukan produk perundang-undangan di luar 7 jenis perundang-undangan di atas. Kita dapat menemukan Peraturan DPR, Peraturan Menteri, Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Desa, dll.

Unit 6

Hubungan Antar Perundang-Undangan

Hubungan Antar Peraturan Perundang-undangan
 
UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah bagian dari pembangunan hukum nasional. Pembentukan peraturan perundang-undangan dari merencanakan sampai menetapkan, melibatkan legislatif dan eksekutif di tingkat nasional dan daerah, juga partisipasi masyarakat. Diharapkan masing-masing produk perundang-undangan dapat sinkron dan saling melengkapi, sehingga dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara seperti yang dicita-citakan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Selain itu, ada banyak peraturan perundang-undangan, seperti peraturan dae-rah (Perda), yang bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Hal ini yang kemudian memunculkan kebijakan pemerintah untuk mem-batalkan sebanyak 3.143 Perda pada tahun 2016, karena dinilai bertentangan dengan kebijakan nasional dan menjadi kendala dalam mendorong percepatan pembangun-an, menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang jalur birokrasi, dan menghambat investasi dan kemudahan berusaha.

4. Rangkuman

  1. Seharusnya masing-masing produk perundang-undangan dapat sinkron dan saling melengkapi, sehingga dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara seperti yang dicita-citakan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Namun, nyatanya ada sejumlah permasalahan mendasar dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di antaranya, tidak sinkron antarperencanaan peraturan perundang-undangan (pusat dan daerah) dengan perencanaan dan kebijakan pembangunan. Bahkan, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menyimpang dari materi muatan yang seharusnya diatur.
  2. Tidak sinkron antara perencanaan pembangunan dan perencanaan legislasi dapat tergambar dalam dokumen perencanaan pembangunan dan dokumen perencanaan legislasi periode tahun 2015-2019. Dari 70 Rancangan Undang-Undang dalam usulan RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) dan Prolegnas 2015-2019, hanya 3 RUU yang kemudian dapat disahkan. Di luar 70 RUU tersebut, masih ada 12 RUU yang diusulkan oleh pemerintah dalam Prolegnas yang berada di luar kerangka perencanaan pembangunan nasional, dan terdapat 14 RUU yang masuk dalam RPJMN tetapi tidak masuk ke dalam Prolegnas.
  3. Selain itu, ada banyak peraturan perundang-undangan, seperti peraturan daerah (Perda), yang bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sinkronisasi atau harmonisasi antarproduk perundang-undangan (nasional dan daerah) diperlukan sebagai satu kesatuan hukum yang saling mendukung, menjadi legitimasi dan arah bagi pembangunan Indonesia. Pembenahan kualitas perundang-undangan (regulasi) juga diperlukan agar mendukung pencapaian prioritas pembangunan Indonesia.

Unit 7

Menganalisis Produk Perundang-Undangan

Menganalisis Isi Produk Perundang-Undangan
Dari pertemuan kita terdahulu, kita telah mengetahui hubungan antara Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 serta mengenal jenis dan hierarki perundang-undangan di Indonesia. Pancasila sebagai falsafah dan ideologi. UUD NRI Tahun 1945 menerjemahkan ke dalam norma-norma hukum yang mendasar. Keduanya menjadi pegangan dalam hidup bernegara: tujuan bernegara dan bagaimana menyelenggarakan peme-rintahan agar memenuhi tujuan bernegara.
UUD NRI Tahun 1945
Seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia harus merujuk kepada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Tidak boleh mengabaikan apalagi bertentangan. Seperti halnya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila, dan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945, keduanya memberikan perlindungan kepa-da agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka, peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan terhadap keduanya. Undang-Undang sampai Peraturan Daerah; tidak boleh menuliskan norma hukum yang melarang kebebasan beragama.
Kedua, peraturan perundang-undangan yang ada di bawah UUD NRI Tahun 1945 juga harus merujuk pasal atau ayat yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945. Hal demikian berlaku secara hierarikis dalam urutan perundang-undangan. Sehingga se-buah Peraturan Daerah, misalnya, bukan hanya harus merujuk kepada UUD NRI Tahun 1945 tetapi harus pula merujuk kepada Undang-Undang atau Peraturan Peme-rintah yang ada di atasnya, yang sejalur perihal yang diatur.
 
 
 
 
Daftar Pustaka
1.      Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk SMA/SMK Kelas X;
 Abdul Waidl, dkk. ( ISBN: 978-602-244-321-6 ).
2.   ………………………….
3.   …………………………..        
 
SMKN 6 Bisa_NTT Oke_Indonesia Jaya
Yakin Usaha Sampai

Pancasila

Unit 1

Menggali Ide Pendiri Bangsa tentang Dasar Negara

Menggali Ide Pendiri Bangsa tentang Dasar Negara
        Ide-Ide Pendiri Bangsa tentang Negara Merdeka Perjuangan bangsa Indonesia untuk keluar dari penjajahan melewati fase panjang. Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa kekalahan Belanda atas Jepang dalam perang Asia Timur Raya menyebabkan bangsa Indonesia terlepas dari penjajahan Belanda menuju ke penjajahan Jepang. Jepang dapat menguasai wilayah Indonesia setelah Belanda menyerah di Kalijati, Subang, Jawa Barat pada 8 Maret 1942. Jepang menggunakan sejumlah semboyan, seperti “Jepang Pelindung Asia”, “Jepang Cahaya Asia”, “Jepang Saudara Tua”, untuk menarik simpati bangsa Indonesia.
        Namun, kemenangan Jepang ini tidak bertahan lama, karena pihak Sekutu (Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda) melakukan serangan balasan kepada Jepang untuk merebut kembali Indonesia. Sekutu berhasil menguasai sejumlah daerah. Mencermati situasi yang semakin terdesak tersebut, pada peringatan Pembangunan Djawa Baroe pada 1 Maret 1945, Jepang mengumumkan rencananya untuk membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPK).
        Jepang pun mewujudkan janjinya dengan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPK) pada 29 April 1945 bersamaan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito, atas izin Panglima Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Di dalam BPUPK, terdapat dua badan; 1) Badan Perundingan atau Badan Persidangan, 2) Kantor Tata Usaha atau sekretariat. Badan Perundingan diisi oleh seorang kaico (ketua), dua orang fuku kaico (ketua muda atau wakil ketua) dan 62 orang iin atau anggota. Termasuk juga dalam BPUPK ini adalah 7 orang Jepang berstatus sebagai pengurus istimewa yang bertugas mengawasi.

BPUPK sendiri diketuai oleh KRT Radjiman Wedyodiningrat dengan Wakil Ketua Ichiangase Yosio dan Raden Pandji Soeroso. BPUPK ini melaksanakan 2 kali sidang; 1) 29 Mei-1 Juni 1945 membahas tentang Dasar Negara, 2) 10-17 Juli 1945 membahas tentang Rancangan Undang-Undang Dasar.

        Berdasarkan sejumlah naskah, ada sejumlah tokoh yang turut menyampaikan pidato pada sidang pertama BPUPK, 29 Mei-1 Juni 1945. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada sidang pertama BPUPK selama empat hari, terdapat 32 anggota BPUPK yang menyampaikan pidato, yaitu: 11 orang pada 29 Mei, 10 orang pada 30 Mei, 6 orang pada 31 Mei, serta 5 orang pada 1 Juni 1945.

 Koleksi Pringgodigdo menyebutkan beberapa nama yang berpidato pada 29 Mei 1945, yaitu: Margono, Sosrodiningrat, Soemitro, Wiranatakoesoema, Woerjaningrat, Soerjo, Soesanto, Soedirman, Dasaad, Rooseno, dan Aris. Sementara itu, pada 30 Mei 1945, ada sembilan tokoh yang berpidato pada sidang BPUPK, yaitu: M. Hatta, H. Agoes Salim, Samsoedin, Wongsonagoro, Soerachman, Soewandi, A. Rachim, Soekiman, dan Soetardjo. Adapun pada sidang BPUPK tanggal 31 Mei 1945, ada empat belas tokoh yang menyampaikan pidato, yaitu: Soepomo, Abdul Kadir, Hendromartono, Mohammad Yamin, Sanoesi, Liem Koen Hian, Moenandar, Dahler, Soekarno, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Koesoema Atmaja, Oei Tjong Hauw, Parada Harahap, dan Boentaran. Sementara pada tanggal 1 Juni, anggota BPUPK yang menyampaikan pidato di antaranya Baswedan, Mudzakkir, Otto Iskandardinata, dan Soekarno.



Sekurang-kurangnya terdapat tiga pokok bahasan dalam sidang BPUPK berkenaan dengan dasar negara, yaitu: 1), apakah Indonesia akan dijadikan sebagai negara kesatuan atau negara federal (bondstaat) atau negara perserikatan (statenbond), 2), masalah hubungan agama dan negara, dan 3), apakah negara akan menjadi republik atau kerajaan.
    Selain mendiskusikanz secara lisan (pidato), para anggota BPUPK juga diminta memberikan usulan secara tertulis untuk kemudian diserahkan ke sekretariat atau Kantor Tata Usaha. Untuk menampung berbagai usulan pemikiran para pendiri bangsa, dibentuklah panitia kecil yang berjumlah delapan orang.

Sejarah Perumusan Pancasila dari 3 Tokoh Nasional yang Perlu Diketahui

Pancasila merupakan dasar serta landasan ideologi bagi Bangsa Indonesia. Hal itu berarti setiap nilai yang terkandung dalam Pancasila harus dijadikan dasar hidup bernegara. Secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘panca’ yang berarti lima dan ‘syla’ yang berarti prinsip atau alas dasar.

Melalui pengertian tersebut, dapat disimpulkan ada lima sila yang menjadi pedoman bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, penting untuk bisa mengatur aspek-aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan Pancasila.

Di sisi lain, mungkin tak banyak yang tahu sejarah lahirnya Pancasila. Jadi, pada saat sidang BPUPKI, agendanya membahas rumusan dasar negara. Sidang BPUPKI yang pertama dilaksanakan pada 29 Mei-1 Juni 1945. Saat sidang tersebut, tercetus dasar negara yang diberi nama Pancasila. Pancasila lahir pada 1 Juni 1945. Kondisi tersebut yang menjadikan tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Pancasila melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016.

Keputusan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo pada 1 Juni 2016 di Gedung Merdeka, Bandung. Di balik tercetusnya Pancasila yang menjadi dasar negara, ada tiga tokoh nasional yang turut andil dalam perumusannya.

Berikut ini rangkuman mengenai rumusan Pancasila dari tiga tokoh nasional, seperti dilansir dari laman Saintif, Senin (7/9/2020).

Rumusan Dasar Negara oleh Mohammad Yamin

Tokoh pertama yang mencetuskan dasar negara adalah Mohammad Yamin. Moh. Yamin merupakan seorang sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum. tokoh yang menyampaikan pidato pada sidang pertama BPUPK (29 Mei-1 Juni) ini adalah menyampaikan pidato pada 29 Mei, sekitar 20 menit. Dalam Naskah Persiapan disebutkan bahwa Yamin menyampaikan pidato ten-tang lima poin yang menjadi dasar pembentukan negara merdeka, yaitu:

Pada tanggal 29 Mei 1945, Moh. Yamin mengusulkan dasar negara secara lisan dengan isi sebagai berikut:

1. Peri kebangsaan

2. Peri kemanusiaan

3. Peri ketuhanan

4. Peri kerakyatan (poin empat ini memiliki anak poin lagi yaitu; permusyawaratan, perwakilan, kebijakan).

5. Kesejahteraan rakyat

Selain itu, Mohammad Yamin disebutkan membuat konsep tertulis tentang Indonesia merdeka, yang isinya berbeda dengan isi pidatonya. Dalam konsep tertulisnya, Mohammad Yamin menuliskan lima poin bagi Indonesia Merdeka, yaitu:

 1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kebangsaan Persatuan Indonesia

3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan Dasar Negara oleh Dr. Soepomo

Tokoh kedua yang mencetuskan dasar negara adalah Dr. Soepomo. Pendapat terkait rumusan dasar negara dari Dr. Soepomo diungkapkan dalam pidatonya di sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945. Dr. Soepomo adalah seorang pahlawan Nasional Indonesia yang juga dikenal sebagai arsitek Undang-Undang Dasar 1945, bersama Mohammad Yamin dan Soekarno.
“Maka teranglah Tuan-tuan yang terhormat, bahwa jika kita hendak mendirikan negara In-donesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apa pun.”
 
Demikian salah satu cuplikan pidato Soepomo dalam sidang pertama BPUPK pada 31 Mei 1945. Ia merupakan tokoh penting dalam merumuskan dasar negara. Pada 31 Mei 1945, Soepomo juga menyampaikan pidato di BPUPK. Soepomo berbicara mengenai struktur sosial bangsa Indonesia yang ditopang oleh semangat persatuan hidup, semangat kekeluargaan, keseimbangan lahir batin masyarakat, yang senantiasa bermusyawarah dengan rakyatnya demi menyelenggarakan keinsyafan ke-adilan rakyat.
Dalam pidato ini, Soepomo juga menyebutkan mengenai aliran pikiran (staatsidee) Indonesia nantinya, yaitu negara yang integralistik. Dalam konteks hubungan agama dan negara, Soepomo memiliki pandangan yang sama dengan pidato pemikiran Mohammad Hatta pada 30 Mei 1945, yaitu pemisahan agama dan negara. Urusan keagamaan harus dipisahkan dengan urusan kenegaraan.

Dr. Soepomo mengusulkan dasar negara dengan isi sebagai berikut:

1. Persatuan

2. Kekeluargaan

3. Keseimbangan lahir dan batin

4. Musyawarah

5. Keadilan sosial

Rumusan Dasar Negara oleh Ir. Soekarno

Dalam pidatonya di sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato yang berisi gagasan mengenai dasar negara yang terdiri dari:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Tak hanya itu, Soekarno juga mengusulkan tiga dasar negara yang diberi nama Ekasila, Trisila, dan Pancasila. Di mana akhirnya nama dasar negara yang terakhir, yakni Pancasila, yang dipilih.
Hal itulah yang menjadikan tanggal 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila, untuk mengenang Pancasila yang dirumuskan oleh Soekarno.
Rumusan Pancasila yang Sah
Rumusan Pancasila yang sah terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang diresmikan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Adapun tata urutan dan rumusan Pancasila yang sah sebagai berikut.
 1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Panitia Sembilan dan Mukadimah Dasar Negara

Seusai sidang pertama BPUPK, sejumlah anggota BPUPK mengadakan pertemuan untuk membicarakan langkah berikutnya, yang kemudian terbentuk dua panitia kecil. Panitia kesatu beranggotakan delapan orang bertugas untuk mengumpulkan berbagai usulan para anggota untuk kemudian dibahas pada sidang berikutnya. Sementara panitia kedua beranggotakan sembilan orang bertugas menyusun Pembukaan Hukum Dasar.

 Panitia Delapan Panitia Sembilan
    
1.Soekarno (ketua)1.Soekarno (ketua)
2.Ki Bagus Hadikusumo2.Moh. Hatta
3.KH. Wachid Hasjim3.Moh. Yamin
4.Moh. Yamin4.Achmad Subardjo
5.Sutardjo5.Maramis
6.Maramis6.KH. Wachid Hasjim
7.Oto Iskandar Dinata7.KH. Abdul Kahar Moedzakkir
8.Moh. Hatta8.Abi Kusno Tjokrosujoso
  9.H. Agus Salim
    

Dari kepanitiaan di atas, terdapat 5 orang yang merangkap dalam dua kepanitiaan sekaligus, yaitu Soekarno, Moh. Yamin, KH. Wachid Hasjim, Moh. Hatta, dan Maramis. Panitia delapan berhasil membuat sembilan pokok pikiran yang diusulkan para anggota BPUPK, yaitu:

  • Usulan yang meminta Indonesia merdeka selekas-lekasnya;
  • Usulan yang meminta mengenai dasar negara;
  • Usulan yang meminta mengenai soal uniikasi atau federasi;
  • Usulan yang meminta mengenai bentuk negara dan kepala negara;
  • Usulan yang meminta mengenai warga negara;
  • Usulan yang meminta mengenai daerah;
  • Usulan yang meminta mengenai agama dan negara;
  • Usulan yang meminta mengenai pembelaan;
  • Usulan yang meminta mengenai keuangan.

Sementara itu, Panitia Sembilan mengadakan rapat pada 22 Juni 1945 tentang dasar negara. Diskusi berlangsung alot ketika membahas bagaimana relasi agama dan negara, sebagaimana juga yang tergambar dalam sidang BPUPK. Beberapa anggota BPUPK menghendaki bahwa dasar negara Indonesia harus berlandaskan Islam, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Sementara itu, sebagian kelompok lain menolak menjadikan agama (dalam hal ini Islam) sebagai dasar negara. Bahkan, Moh. Hatta, Soepomo dan Ir. Soekarno mengusulkan pemisahan agama dan negara.

Piagam Jakarta dan Upaya Kompromi

Pokok-pokok pikiran yang muncul dalam sidang BPUPK itu kemudian dikaji secara mendalam oleh Panitia Sembilan. Salah satu topik dari sembilan pokok bahasan yang sangat alot pembahasannya adalah soal hubungan agama dan negara. Lobi-lobi di antara anggota Panitia Sembilan dilakukan.

Usulan sejumlah anggota untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara menda-pat sanggahan dari anggota lainnya. Dengan mengacu kepada seluruh masukan para anggota BPUPK, terutama pidato Soekarno yang secara gamblang menjelaskan dasar negara, akhirnya disepakatinya rancangan asas atau dasar Indonesia Merdeka, yang diberi nama oleh Soekarno sebagai Mukadimah, Moh. Yamin menyebutnya sebagai Piagam Jakarta. Isinya sebagai berikut:

  • Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
  • Kemanusiaan yang adil dan beradab;
  • Persatuan Indonesia;
  • Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan;
  • Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hasil keputusan Panitia Sembilan tersebut kemudian dilaporkan ke hadapan seluruh anggota BPUPK pada 22 Juni 1945. Karena dianggap telah menyelesaikan tugasnya, BPUPK dibubarkan pada 7 Agustus 1945. Agenda berikutnya adalah me-nyiapkan dan mematangkan serta mengesahkan hal-hal penting untuk memper-siapkan kemerdekaan Indonesia. Maka pada 9 Agustus 1945 dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

PPKI belum menjalankan tugas, situasi Indonesia semakin memanas seiring dengan dibomnya Nagasaki dan Hiroshima, sehingga pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada sekutu. Seiring dengan itu, terjadi kekosongan kekuasaan, sehingga situasi tersebut dimanfaatkan oleh para pendiri bangsa untuk mempercepat kemer-dekaan Indonesia. Akhirnya, Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, 18 Agustus 1945, PPKI melaksanakan sidang. Dalam sidang inilah, peristiwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta terjadi. Mohammad Hatta adalah salah satu tokoh penting di balik ide penghapusan tujuh kata tersebut. Alasannya, sejumlah pihak “keberatan” dengan adanya tujuh kata tersebut sehingga berpotensi terjadi perpecahan. Diskusi dan lobi-lobi dilakukan kepada sejumlah tokoh yang selama ini mengusulkan Indonesia berasaskan Islam, seperti Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Wachid Hasjim.

Para tokoh Islam itu ikhlas dan berbesar hati dan mendahulukan kepentingan bersama, yakni menjaga keutuhan bangsa. Mereka pun sepakat dengan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut.

Unit 2

Penerapan Pancasila Dalam Konteks Berbangsa

Sebelum memulai pembahasan lebih jauh, mari menilai diri kita sendiri.
 
“Seberapa Pancasilakah kamu?”
 
Coba kalian bayangkan, apa alasan kalian mengisi angka persentase  tersebut? Sikap dan tindakan seperti apa yang kalian lakukan sehingga kalian menilai diri kalian mendapatkan angka tersebut?
 
Kita sering kebingungan ketika diminta untuk menerapkan nilai-nilai Pancasila. Padahal, sebagaimana kata Soekarno, Pancasila bukan sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia. Sebaliknya, Pancasila digali dari nilai dan tradisi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pancasila bukan sekedar dihafalkan. Logo Pancasila tidak cukup hanya di-cantumkan di surat-surat resmi kenegaraan, atau buku-buku. Lambang Garuda tidak cukup hanya dipajang di kelas. Lebih dari itu, nilai-nilai Pancasila harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
 
Karena itu, ketika melakukan releksi apakah kalian menerapkan nilai-nilai Pan-casila, maka pertama-tama kalian perlu memahami isi dari masing-masing sila ter-sebut. Beberapa pertanyaan kunci yang dapat kalian releksikan terkait dengan pe-nerapan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya, sejumlah pertanyaan lain dapat dikembangkan sesuai dengan makna dari masing-masing sila tersebut.

a.   Ketuhanan Yang Maha Esa

Dalam konteks kehidupan berbangsa, sila pertama ini mereleksikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga ia dapat melaksanakan ajaran-ajaran agamanya secara nyaman dan seksama tanpa mengalami gangguan. Namun faktanya, tidak semua manusia Indonesia yang berketuhanan ini dapat melaksanakan ajaran dan tata cara keagamaan dengan nyaman dan seksa-ma. Masih sering terjadi sejumlah persoalan terkait dengan kebebasan pelaksanaan ajaran agama, seperti soal intoleransi terhadap keyakinan yang berbeda yang terjadi di kalangan masyarakat.

mpenernilai-nilai Pan-casila dalam kehidupan bermayarakalian da-

b.    Kemanusiaan yang adil dan beradab

Sila kedua ini memberikan pengertian bahwa setiap bangsa Indonesia dijunjung tinggi, diakui, dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, sebagai warga negara, setiap manusia Indonesia memiliki derajat yang sama, hak dan kewajiban yang sama. Sehingga segala tindakan yang melanggar “kemanusian” seperti perundungan (bullying), diskriminasi, dan kekerasan antar-sesama tidak dapat dibenarkan. Sila ini juga secara eksplisit menyebut kata “adil dan beradab” yang berarti bahwa perlakuan terhadap sesama manusia harus adil dan sesuai dengan moral-etis dan adab yang berlaku. Sayangnya, kehidupan berbangsa kita tidak sepenuhnya dapat menerapkan hal ini. Masih banyak terjadi tindakan-tindakan yang tidak menghargai harkat dan martabat manusia, seperti perundungan, diskriminasi, ujaran kebencian, bahkan kekerasan terhadap peserta didik dan guru.

c.    Persatuan Indonesia

Sila ketiga ini memberikan syarat mutlak kepada setiap bangsa Indonesia untuk men-junjung tinggi persatuan. Persatuan di sini bukan bermakna terjadinya penyeragam-an dari keragaman yang ada. Melalui sila ini setiap bangsa Indonesia yang beragam ini diminta untuk bersatu padu, kompak tanpa perpecahan untuk bersama-sama me-majukan bangsa dan negara Indonesia. Faktanya, kita masih kerap menjumpai pen-dapat dan berita yang seringkali mengajak untuk saling menghasut dan memusuhi, lebih peduli terhadap bangsa lain tetapi acuh terhadap apa yang terjadi pada bangsa dan negara Indonesia. Lebih parahnya, gerakan separatis yang hendak memisahkan diri dari Indonesia masih tetap eksis sampai saat ini.

d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

Dalam konteks berbangsa, sila ini menegaskan bahwa segala keputusan di lingkungan masyarakat harus dilakukan dengan penuh hikmat kebijaksanaan melalui mekanisme musyawarah. Karena itulah, untuk melaksanakan kegiatan/program bersama di ma-syarakat harus ditempuh dengan cara musyawarah. Prinsip musyawarah ini menya-darkan kita bahwa setiap bangsa Indonesia memiliki hak, kedudukan, dan kewajiban yang setara. Dengan demikian, tidak boleh ada seseorang atau kelompok yang merasa paling berhak dan paling benar. Faktanya, kita masih sering menjumpai sejumlah praktik kehidupan di masyarakat yang tak sepenuhnya mengedepankan musyawarah, seperti tidak menghargai pendapat yang berbeda, serta anti kritik.

e.    Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Keadilan adalah nilai universal yang harus dipraktikkan oleh setiap bangsa Indonesia. Keadilan di sini tidak hanya terkait dengan keadilan hukum. Dalam konteks kehidupan berbangsa, keadilan dapat bermakna bahwa setiap bangsa Indonesia berada dalam posisi yang setara baik terkait dengan harkat, martabat, hak dan kewajibannya. Karena itu, merendahkan orang lain karena, misalnya, status sosial, jenis kelamin, agama, atau budaya adalah bentuk dari ketidakadilan. Untuk bersikap adil harus dimulai dari cara pikir yang adil. Sayangnya, ada banyak ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Sekedar contoh, perempuan mendapatkan perlakukan tidak adil karena keperempuanannya, tidak mendapatkan hak belajar yang setara dengan laki-laki, dipaksa nikah muda. Dan masih banyak contoh lain dari ketidakadilan ini dalam kehidupan masyarakat.

Aktivitas Belajar 3

Agar lebih memahami penerapan Pancasila dalam konteks kehidupan berbangsa, ka-lian diminta membuat jurnal harian yang berkaitan dengan pengamalan Pancasila yang dilakukan di sekitar kalian.

Lihat contoh berikut:

Hari/TanggalSenin/28 September 2020
  
WaktuPagi hari
  
TempatDi rumah
  
Sila ke-4Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
 permusyawaratan perwakilan.
  
Deskripsi kegiatanIbu meminta pendapatku dan adikku untuk menu masakan
 pada hari itu.
  
Unit 3
Peluang dan Tantangan Penerapan Pancasila

Upaya untuk menerapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari merupakan hal yang paling menantang dari materi Pancasila, terlebih di era Revolusi Industri 4.0 sekarang, di mana laju perkembangan teknologi begitu cepat. Tentu saja, tantangan dan peluang mengimplementasikan Pancasila pada 30 tahun yang lalu berbeda dengan hari ini, karena perubahan zaman dan alam.

Pada era sekarang, berkat perkembangan teknologi informasi, dunia seolah tak berjarak. Kita dapat terhubung dengan siapapun dan dari manapun. Batas wilayah, negara, bahkan dunia dengan mudah kita lipat. Misalnya, kalian yang berada di desa, cukup terhubung dengan internet baik melalui handphone, laptop ataupun kompu-ter maka kalian dapat berkomunikasi dengan teman atau orang lain meskipun lokasi kalian berbeda. Kita yang berada di Indonesia dapat melihat dan membaca peristiwa yang terjadi di negara lain. Ini tentu berbeda dengan era awal kemerdekaan, di mana kemajuan teknologi informasi tidak sepesat saat ini.

Perkembangan teknologi informasi ini tentu memberikan peluang dan sekaligus tantangan dalam menerapkan Pancasila. Dengan bantuan teknologi informasi, kita dapat mengkampanyekan nilai-nilai Pancasila ke seantero dunia dengan mudah dan cepat. Tak hanya itu, praktik kehidupan kita yang berlandaskan Pancasila juga dapat menjadi inspirasi bagi bangsa-bagsa di dunia.

Contohnya, Indonesia dikenal dengan bangsa yang sangat beragam. Ada banyak suku, ras, bahasa, dan agama/kepercayaan di Indonesia. Namun, di tengah keragaman tersebut, bangsa Indonesia tetap dapat hidup rukun dan damai. Tradisi-tradisi yang menunjukkan persaudaraan, kerukunan dan kedamaian yang dipegang teguh oleh bangsa Indonesia dapat menjadi bahan kampanye kepada dunia tentang kerukunan dalam kebinekaan.

Hal tersebut dapat menjadi inspirasi bagi daerah-daerah yang berkonlik. Di Bali, misalnya, ada tradisi Ngejot, memberikan makan kepada tetangga, yang ber-langsung dan mengharmoniskan pemeluk Islam dan Hindu. Di Maluku, ada tradi-si Pela Gandong, suatu perjanjian persaudaraan satu daerah dengan daerah lainnya, sehingga ketika terikat dengan perjanjian persaudaraan, maka ia harus saling tolong menolong, saling membantu, sekalipun di dalamnya berbeda agama. Di Papua ada tradisi Bakar Batu yang dilakukan untuk mencari solusi saat terjadi konlik. Berbagai tradisi dan kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia itu dapat disebarluas-kan melalui teknologi informasi.

Di balik peluang tersebut, tersimpan juga tantangan yang tidak mudah. Karena teknologi informasi, kita dapat terpengaruh hal-hal buruk dari luar yang tidak sesuai dengan Pancasila dan tradisi kita. Karena teknologi informasi pula, hoaks dan ujaran kebencian menyebar sangat masif di media sosial. Tak jarang, informasi yang kita teri-ma bukan saja tidak benar tetapi juga seringkali merugikan. Dengan teknologi informa-si pula, ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dapat menyebar dengan cepat dan tentu berpengaruh terhadap kehidupan berbangsa. Ide-ide yang mengarah kepada radikalisme dan terorisme bertebaran di jagat maya dan dapat mempengaruhi kita. Dengan teknologi informasi, narkoba juga dapat menyebar dengan cepat hingga ke desa dan perkampungan.

a.    Ber-Pancasila di Era Media Sosial

Menurut data yang dirilis We Are Social tahun 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau sebesar 56% dari total populasi rakyat Indonesia. Dan setiap tahunnya pengguna internet terus mengalami peningkatan signiikan. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa media sosial menjadi tempat penyebaran hoaks yang sangat masif. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga 5 Mei 2020, mencatat sebanyak 1.401 konten hoaks dan disinformasi terkait Covid-19 beredar di masyarakat. Riset Dailysocial.id melaporkan bahwa informasi hoaks paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%). Sebagian besar responden (44,19%) yang ditelitinya tidak yakin mememiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoaks.

Selain hoaks, media sosial juga digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian, pemikiran intoleransi dan radikalisme. Sejumlah lembaga penelitian telah menunjukkan betapa masifnya penyebaran hoaks, ujaran kebencian, intoleransi dan radika-lisme yang dilakukan melalui media sosial.

Namun di sisi lain, media sosial juga dapat digunakan untuk menyebarkan sejumlah gagasan dan program yang baik. Aktivitas mengumpulkan dana melalui media sosial yang disebut dengan crowdfunding untuk misi kebaikan seperti membantu pengobatan orang yang sakit, memperbaiki rumah, dan sebagainya, banyak dilakukan.

Kita dapat menyimpulkan bahwa media sosial bermata dua. Satu sisi ia dapat menjadi alat untuk menebar kebaikan, tetapi sisi lain ia juga dapat menjadi alat untuk melakukan pengrusakan sosial. Kata kuncinya adalah bagaimana agar media sosial dapat digunakan untuk melakukan kebaikan, membantu sesama, dan menyuarakan keadilan.

b.   Pancasila dan Pandemi

Tahun 2020 ditandai dengan munculnya virus Covid-19. Ia tak hanya menjangkiti satu negara, melainkan telah menjadi wabah dunia (pandemi). Penyebaran virus ini begitu masif. Sebagai pandemi, tentu saja penanganan terhadap penyebaran Covid-19 tidak bisa hanya dilakukan oleh satu orang, satu kelompok ataupun satu negara. Pe-nanganannya menuntut komitmen dan kerjasama lintas negara, yang melibatkan se-luruh warga negara dunia.

Jika ada satu atau beberapa negara yang “bandel” atau tidak memiliki komit-men untuk menyudahi penyebaran Covid-19 ini, maka ia akan terus menyebar ke negara-negara lain. Penyebabnya, lalu lintas orang terjadi begitu masif, sehingga ia bisa menjadi “media” penyebaran virus baru ini.

Terkait dengan hal tersebut, bagaimana peluang dan tantangan penerapan Pancasi-la di era pandemi ini? Sebagai warga negara Indonesia yang berlandaskan pada Pancasi-la, sikap dan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan menghadapi pandemi?

Unit 4

Proyek Gotong Royong Kewarganegaran

Konsep Gotong Royong

Pernahkah kalian mendengar kata gotong royong? Ataukah kalian pernah ikut gotong royong? Gotong royong merupakan identitas dan kekayaan budaya Indonesia. Ada pepatah menyebutkan bahwa “Berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Pepatah ini bermakna, pekerjaan berat jika dilakukan bersama-sama akan terasa ringan. Pepatah ini dapat menggambarkan makna gotong royong. Lalu, apa yang dimaksud gotong royong itu? Mari kita diskusikan bersama-sama!

Sebagai makluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia senantiasa membutuhkan bantuan orang lain. Hal ini menjadi itrah manusia. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat diperlukan adanya kerja sama, gotong royong, dan sikap saling membantu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hidup.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata gotong royong bermakna bekerja bersama-sama (tolong-menolong, bantu-membantu). Kata gotong royong sendiri berasal dari bahasa Jawa, yaitu gotong dan royong. Gotong artinya pikul atau angkat. Sedangkan royong artinya bersama-sama. Dengan demikian, secara hariah gotong royong dapat diartikan mengangkat beban secara bersama-sama agar beban menjadi ringan.

Koentjaraningrat membagi dua jenis gotong royong yang dikenal oleh masyarakat Indonesia yaitu gotong royong tolong-menolong dan gotong royong kerja bakti. Kegiatan gotong royong tolong-menolong bersifat individual, misalnya menolong tetangga kita yang sedang mengadakan pesta pernikahan, upacara kematian, membangun rumah, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan suatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum, seperti bersih-bersih desa/kampung, memperbaiki jalan, membuat tanggul, dan lain-lain.

Lebih lanjut, Koentjaraningrat membagi gotong royong yang terdapat pada masyarakat pedesaan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:

Tolong-menolong dalam aktivitas pertanian;

Tolong-menolong dalam aktivitas sekitar rumah tangga;

Tolong-menolong dalam aktivitas persiapan pesta dan upacara;

Tolong-menolong dalam peristiwa kecelakaan, bencana, dan kematian.

Gotong-royong lahir atas dorongan kesadaran dan semangat untuk mengerjakan sesuatu secara bersama-sama, serentak, dan beramai-ramai, tanpa memikirkan dan mengutamakan keuntungan pribadi. Gotong royong harus dilandasi dengan sema-ngat keikhlasan, kerelaan, kebersamaan, toleransi, dan kepercayaan. Gotong-royong merupakan suatu paham yang dinamis, yang menggambarkan usaha bersama, suatu amal, suatu pekerjaan atau suatu karya bersama, dan suatu perjuangan bantu-mem-bantu. Dalam gotong royong melekat nilai-nilai Pancasila yaitu ketuhanan, kemanu-siaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial yang merupakan landasan ilsafat bangsa Indonesia.

Konsep gotong royong dapat pula dimaknai sebagai pemberdayaan masyara-kat. Hal ini lantaran gotong royong dapat menjadi modal sosial (social capital) untuk mendukung kekuatan institusional pada level komunitas, negara, dan lintas bang-sa. Dalam gotong royong termuat makna collective action to struggle, self governing, common goal, dan sovereignty. Secara sosio-kultural, nilai gotong royong merupakansemangat yang dimanifestasikan dalam berbagai perilaku individu yang dilakukan tanpa pamrih guna mengerjakan sesuatu secara bersama-sama demi kepentingan in-dividu atau kolektif tertentu.

Bintarto menyatakan bahwa gotong royong merupakan perilaku sosial dan juga tata nilai kehidupan sosial yang ada sejak lama dalam kehidupan di desa-desa Indonesia. Secara sosio-historis, tradisi gotong royong tumbuh subur di pedesaan Indonesia lantaran kehidupan pertanian memerlukan kerja sama yang besar untuk mengolah tanah, menanam, memelihara hingga memetik hasil panen. Bagi bangsa Indonesia, gotong royong tidak hanya bermakna sebagai perilaku, tetapi berperan pula sebagai nilai-nilai moral. Hal ini mengandung pengertian bahwa gotong royong senantiasa menjadi pedoman perilaku dan pandangan hidup bangsa Indonesia dalam beragam bentuk.

Makna Penting Gotong Royong

Sebagai identitas budaya bangsa Indonesia, tradisi gotong royong yang sarat dengan nilai-nilai luhur harus kita lestarikan. Terlebih lagi Indonesia merupakan negara yang majemuk, baik dari sisi agama, budaya, suku maupun bahasa. Gotong royong dapat merekatkan dan menguatkan solidaritas sosial. Ia melahirkan sikap kebersamaan, sa-ling tolong-menolong, dan menghargai perbedaan.

Selain membantu meringankan beban orang lain, dengan gotong royong kita juga dapat mengurangi kesalahpahaman, sehingga dapat mencegah terjadinya ber-bagai konlik. Gotong royong yang mereleksikan suatu kebersamaan merupakan pedoman untuk menciptakan kehidupan yang jauh dari konlik. Di dalam gotong royong terkandung nilai-nilai yang dapat meningkatkan rasa kerja sama dan persa-tuan warga. Oleh karena itu, melestarikan eksistensi tradisi gotong royong di tengah masyarakat sangatlah penting, terutama pada masyarakat yang majemuk.

Secara historis, spirit gotong royong berkontribusi besar dalam perjuangan ke-merdekaan bangsa Indonesia. Hal ini antara lain dapat kita lihat dalam penyebaran informasi kemerdekaan ke pelosok negeri dan dunia. Pasca Indonesia memprokla-

masikan kemerdekannya, banyak pemuda datang ke Jalan Menteng 31 yang menjadi tempat berkumpul para aktivis pemuda pada saat itu. Para pemuda tersebut menye-barkan stensilan Teks Kemerdekaan ke berbagai daerah di Indonesia.

Beberapa pemuda tersebut di antaranya adalah M. Zaelani, anggota Barisan Pe-muda Gerindo, yang dikirim ke Sumatera. Tercatat juga nama Uteh Riza Yahya, yang menikah dengan Kartika, putri Presiden Soekarno. Kemudian ada pula guru Taman Siswa bernama Sulistio dan Sri. Ada juga aktivis Lembaga Putri, Mariawati Purwo. Mereka menuju ke Sumatera bersama Ahmad Tahir untuk menyebarkan kabar ke-merdekaan. Selain itu, tercatat pula nama Masri yang berangkat ke Kalimantan. Bebe-rapa pemuda juga berangkat ke Sulawesi. Mereka pergi ke luar Jawa membawa kabar kemerdekaan dengan menggunakan perahu. Di Yogyakarta, Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendiri Taman Siswa, berkeliling kampung dengan naik sepeda untuk menye-barkan informasi kemerdekaan Indonesia kepada masyarakat luas.

Spirit gotong royong terus ditanamkan dan dipraktikkan oleh para tokoh bangsa lintas agama dan etnis, baik dari kalangan sipil maupun dari kalangan militer, selama revolusi kemerdekaan di Yogyakarta. Di kota bersejarah ini, berkumpul tokoh-tokoh bangsa dari beragam latar agama, etnis, dan pandangan politik.

Dari sisi etnis, terdapat nama Soekarno, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Soedirman, Ki Hadjar Dewantara, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Sukiman Wirjosandjojo, Wahid Hasjim, dan I.J. Kasimo yang berlatar belakang suku Jawa. Tercatat pula Ali sadikin, Ibrahim Adji, dan M. Enoch yang berlatar belakang Sunda. Ada pula Mohammad Hatta, Agoes Salim, Sutan sjahrir, Tan Malaka, Mohammad Yamin, dan Muhammad Natsir yang berlatar belakang Suku Minang. Ada juga Simatupang dan Nasution dari Tapanuli. Ada Kawilarang dan A.A. Maramis dari Manado. Terdapat juga nama Muhammad Yusuf dari Makassar, Mr. Assaat dan Teuku M. Hassan dari Aceh. A.R. Baswedan yang keturunan Arab, dan lain-lain.

Semangat gotong royong dengan mengesampingkan perbedaan begitu terasa di Yogyakarta. Realitas ini antara lain dapat dilihat dari perjumpaan antara tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) seperti K.H. Wahid Hasjim, tokoh Persatuan Islam seperti Muhammad natsir, tokoh Ahmadiyah seperti Sayyid Shah Muhammad Al-jaeni, tokoh Katolik seperti I.J. Kasimo, dan sebagainya.

Contoh Praktik Gotong Royong

Kalian tentu tahu bahwa Indonesia dikenal dunia karena masyarakat Indonesia me-miliki sikap ramah, kekeluargaan, dan budaya gotong royong. Sejak lama budaya gotong royong telah mengakar di bumi Indonesia. Sartono Kartodirjo menyebutkan bahwa gotong royong merupakan budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun-temurun. Tra-disi gotong royong bahkan menjadi penanda dan identitas budaya bangsa Indonesia.

Budaya gotong royong di Indonesia dapat dilihat dalam berbagai macam ben-tuk dan istilah yang berbeda sesuai dengan daerah masing-masing. Misalnya di Jawa dikenal dengan istilah sambatan. Sambatan merupakan tradisi untuk meminta perto-longan kepada warga masyarakat untuk membantu keluarga yang sedang membutuh-kan bantuan seperti membangun dan memperbaiki rumah, membantu hajatan per-kawinan, upacara kematian dan kepentingan-kepentingan lain yang membutuhkan bantuan orang banyak. Uniknya, tanpa diminta untuk membantu, masyarakat akan nyengkuyung (bekerja bersama-sama membantu tetangganya yang memiliki hajat).Mereka tidak berharap mendapatkan keuntungan material atau berpikir untung-rugi. Mereka memiliki prinsip “loss sathak, bathi sanak” yang kurang lebih artinya: “lebih baik kehilangan materi daripada kehilangan saudara”.

Di Toraja, Sulawesi Selatan, tradisi gotong royong disebut dengan arisan tenaga, yaitu kerja bakti bergilir untuk menggarap sawah atau ladang milik warga. Suku Dayak di Kalimantan juga melakukan tradisi yang kurang lebih sama yang disebut dengan tradisi sa’aelant.

Karena konsep gotong royong mengandung makna bekerja sama secara nyata, maka sudah semestinya kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekedar untuk didiskusikan saja. Lantas bagaimana cara mempraktikkan gotong ro-yong? Ada banyak cara yang dapat kalian lakukan. Kalian dapat memulainya dengan melakukan hal-hal sederhana yang ada di sekitar kalian seperti membantu hajatan te-tangga, gotong royong mengatasi masalah lingkungan hidup, gotong royong menyan-tuni orang miskin dan anak-anak yatim, gotong royong membersihkan kelas, dan sebagainya. Ingat bahwa gotong royong tidak hanya sebatas pada kegiatan bersama yang bersifat isik saja, tetapi dapat berupa kerja bersama non-isik seperti mencari solusi bersama atas sebuah persoalan, memberikan gagasan/ide, memberikan bantu-an, dan lain-lain.

YAKIN USAHA SAMPAI

WAWASAN NUSANTARA DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

WAWASAN NUSANTARA DALAM KONTEKS NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Komptensi Dasar           :     

Sub Bab                       :      

  1. Wawasan Nusantara. 
  2. Kedudukan Fungsi dan Tujuan Wawasan Nusantara.       
  3. Aspek Trigatra dan Pancagatra dalam Wawasan Nusantara.  
  4. Peran Serta Warga Negara Mendukung Implementasi Wawasan Kebangsaan

A. Wawasan Nusantara

1. Pengertian Wawasan Nusantara

pengertian tentang Wawasan Nusantara berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dibuat di Lemhanas Tahun 1999 sebagai berikut : “Cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional”.

Wawasan Nusantara pada dasarnya merupakan cara pandang terhadap bangsa sendiri. Kata “wawasan” berasal dari kata “wawas” yang bearti melihat atau  memandang (S. Sumarsono, 2005)..

Dengan demikian, Wawasan Nusantara mencakup semua aspek kehidupan yang utuh sehingga tidak dapat dipisahpisahkan sesuai dengan kepentingan. Bangsa Indonesia yang majemuk harus mampu membina dan membangun atau menyelenggarakan kehidupan nasional yang baik. Untuk itu, pembinaan dan penyelenggaraan tata kehidupan bangsa dan negara disusun atas dasar hubungan timbale balik antara semua aspek dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan nasional.

2. Hakikat Wawasan Nusantara

Hakikat Wawasan Nusantara adalah keutuhan nusantara dalam pengertian cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara demi kepentingan nasional. Hal tersebut berarti bahwa setiap warga masyarakat dan aparatur negara harus berpikir, bersikap, dan bertindak secara utuh menyeluruh demi kepentingan bangsa dan Negara Indonesia. Demikian juga produk yang dihasilkan oleh lembaga negara

harus dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia tanpa menghilangkan kepentingan lainnya, seperti kepentingan daerah,olongan, dan perorangan.

3. Asas Wawasan Nusantara

Asas Wawasan Nusantara merupakan ketentuan atau kaidah dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dipelihara, dan diciptakan demi tetap taat dan setianya komponen pembentuk bangsa Indonesia terhadap kesepakatan bersama.

Adapun, asas Wawasan Nusantara tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Kepentingan yang sama. Ketika menegakkan dan merebut kemerdekaan, kepentingan bersama bangsa Indonesia adalah menghadapi penjajah secara fisik dari bangsa lain.
  2. Keadilan. Kesesuaian pembagian hasil dengan adil, jerih payah, dan kegiatan baik perorangan, golongan, kelompok maupun daerah.
  3. Kejujuran. Keberanian berpikir, berkata, dan bertindak sesuai realita serta ketentuan yang benar biar pun realita atau ketentuan itu pahit dan kurang enak didengarnya.
  4. Solidaritas. Diperlukan kerja sama, mau memberi, dan berkorban bagi orang lain tanpa meninggalkan ciri dan karakter budaya masing-masing.
  5. Kerja sama. Adanya koordinasi, saling pengertian yang didasarkan atas kesetaraan sehingga kerja kelompok, baik kelompok kecil maupun besar dapat mencapai sinergi yang lebih baik.
  6. Kesetiaan terhadap kesepakatan bersama untuk menjadi bangsa dan mendirikan Negara Indonesia yang dimulai, dicetuskan, dan dirintis oleh Boedi Oetomo Tahun 1908, Sumpah Pemuda Tahun 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

B. Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Wawasan Nusantara

Wawasan Nusantara berkedudukan sebagai visi bangsa. Wawasan nasional merupakan visi bangsa yang bersangkutan dalam menuju masa depan. Visi bangsa Indonesia sesuai dengan konsep Wawasan Nusantara adalah menjadi bangsa yang satu dengan wilayah yang satu dan utuh pula.

1) Kedudukan

Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional bangsa Indonesia merupakan ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat Indonesia agar tidak terjadi penyesatan atau penyimpangan dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.

2) Fungsi

Wawasan Nusantara berfungsi sebagai pedoman, motivasi, dorongan, serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan, keputusan, tindakan, dan perbuatan bagi penyelenggaraan negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3) Tujuan

Wawasan Nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan individu, kelompok golongan, suku bangsa atau daerah.

C. Aspek Trigatra dan Pancagatra dalam Wawasan Nusantara

Konsepsi wawasan nusantara merupakan suatu konsep di dalam cara pandang dan pengaturan yang mencakup segenap kehidupan bangsa yang dinamakan astagatra, yang meliputi aspek alamiah (trigatra) dan aspek sosial (pancagatra). Trigatra meliputi posisi dan lokasi geografis negara, keadaan dan kekayaan alam, dan keadaan dan kemampuan penduduk. Pancagatra merupakan aspek sosial kemasyarakatan terdiri dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan (Ipoleksosbudhankam).

1. Aspek – Aspek Trigatra

a. Letak dan Bentuk Geografis

Jikalau kita melihat letak geografis wilayah Indonesia dalam peta dunia, maka akan nampak jelas bahwa wilayah negara tersebut merupakan suatu kepulauan, yang menurut wujud ke dalam, terdiri dari daerah air dengan ribuan pulau-pulau di dalamnya.

b. Keadaan dan Kemampuan Penduduk

Penduduk adalah sekelompok manusia yang mendiami suatu tempat atau wilayah. Adapun faktor penduduk yang mempengaruhi ketahanan nasional adalah sebagai berikut:

1. Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk berubah karena kematian, kelahiran, pendatang baru, dan orang yang meninggalkan wilayahnya. Segi positif dari pertambahan penduduk ialah pertambahan angkatan kerja (man power) dan pertambahan tenaga kerja (labour force). Segi negatifnya, pabila pertumbuhan penduduk tidak seimbang dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti dengan usaha peningkatan kualitas penduduk.

2. Faktor yang Mempengaruhi Komposisi Penduduk

Komposisi adalah susunan penduduk menurut umur, kelamin, agama, suku bangsa, tingkat pendidikan, dan sebagainya.

3. Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Penduduk

Distribusi penduduk yang ideal adalah distribusi yang dapat memenuhi persyaratan kesejahteraan dan keamanan yaitu penyebaran merata.

c. Keadaan dan kekayaan alam

Kekayaan sumber-sumber alam sebenarnya terdapat di atmosfir, di permukaan bumi, di laut, di perairan, dan di dalam bumi. Sumber-sumber alam sesungguhnya mempunyai arti yang sangat luas di mana Indonesia terkenal sebagai negara yang mempunyai sumber-sumber alam yang berlimpah ruah.

Bentuk sumber daya alam ada 2 (dua) , yaitu sumber daya alam yang dapat diperbarui dan tidak dapat diperbarui. Sumber daya alam harus diolah atau dimanfaatkan dengan berprinsip atau asas maksimal, lestari, dan berdaya saing

1) Asas maksimal

Artinya sumber daya alam yang dikelola atau dimanfaatkan harus benar-benar menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

2) Asas lestari

Artinya pengolahan sumber daya alam tidak boleh menimbulkan kerusakan lingkungan, menjaga keseimbangan alam.                       

3) Asas berdaya saing Artinya bahwa hasilhasil sumber daya alam harus bisa bersaing dengan sumber daya alam negara lain.

2. Aspek–Aspek Pancagatra

Pancagatra adalah aspek-aspek kehidupan nasional yang menyangkut kehidupan dan pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat dan bernegara dengan ikatan-ikatan, aturan-aturan dan norma-norma tertentu. Hal-hal yang termasuk aspek pancagatra adalah sebagai berikut.

a. Ideologi

Ideologi suatu negara diartikan sebagai prinsip yang dijadikan dasar suatu bangsa. Ideologi adalah pengetahuan dasar atau cita-cita.

b. Politik

Politik diartikan sebagai asas, haluan, atau kebijaksanaan yang digunakan untuk mencapai tujuan dan kekuasaan.

c. Ekonomi

Kegiatan ekonomi adalah seluruh kegiatan pemerintah dan masyarakat dalam mengelola faktor produksi dan distribusi barang dan jasa untuk kesejahteraan rakyat.

d. Sosial Budaya

Sosial budaya dapat diartikan sebagai kondisi dinamik budaya bangsa yang berisi keuletan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi; Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG).

e. Pertahanan dan Keamanan

Pertahanan dan keamanan diartikan sebagai kondisi dinamika dalam kehidupan pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan

kekuatan Nasional dalam  menghadapi dan mengatasi ATHG yang membahayakan identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Prinsip-prinsip Sistem Ketahanan Nasional antara lain adalah sebagai berikut:

1) Bangsa Indonesia cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan.

2) Pertahanan keamanan berlandasan pada landasan ideal Pancasila, landasan konstitusional UUD 1945, dan landasan visional Wawasan Nusantara.

3) Pertahanan keamanan negara merupakan upaya terpadu yang melibatkan segenap potensi dan kekuatan nasional.

4) Pertahanan dan keamanan diselenggarakan dengan sistem pertahanan dan keamanan nasional (Sishankamnas) dan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata).

D. Peran Serta Warga Negara Mendukung Implementasi Wawasan Kebangsaan

Wawasan Nusantara harus dijadikan arahan, pedoman, acuan, dan tuntutan bagi setiap warga negara Indonesia dalam membangun dan memelihara tuntutan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, implementasi atau penerapan wawasan nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi atau golongan. Dengan kata lain, wawasan nusantara menjadi pola yang mendasari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka menghadapi, menyikapi, atau menangani berbagai masalah menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Implementasi wawasan nusantara senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh dan menyeluruh sebagai berikut:

  1. Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan politik akan menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis.
  2. Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan ekonomi akan menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata
  3. dan adil.
  4. Implementasi Wawasan  Nusantara dalam kehidupan sosial budaya akan menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima, dan menghormati segala bentuk perbedaan atau kebhinekaan sebagai
  5. kenyataan hidup sekaligus karunia sang Pencipta.
  6. Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan pertahanan dan keamanan akan menumbuhkembangkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang lebih lanjut akan membentuk sikap bela negara pada setiap warga negara Indonesia.

Peranan siswa dalam mendukung implementasi wawasan nusantara adalah sebagai berikut:

  1. Mendukung persatuan bangsa.
  2. Berkemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan individu atau golongan.
  4. Mendukung upaya untuk mewujudkan suatu keadilan sosial dalam masyarakat.
  5. Mempunyai kemampuan berfikir, bersikap rasional, dan dinamis, berpandangan luas sebagai intelektual.
  6. Mempunyai wawasan kesadaran berbangsa dan bernegara untuk membela negara yang dilandasi oleh rasa cinta tanah air.
  7. Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  8. Memanfaatkan secara aktif ilmu pengetahuan, teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan, berbangsa dan bernegara.
  9. Mewujudkan kepentingan nasional.
  10. Memelihara dan memperbaiki demokrasi.
  11. Mengembangkan IPTEK yang dilandasi iman dan takwa.
  12. Menciptakan kerukunan umat beragama.
  13. Memiliki informasi dan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
  14. Menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.
  15. Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar.
  16. Merubah budaya negatif yang dapat menciptakan perselisihan.
  17. Mengembangkan kehidupan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.
  18. Memelihara nilai-nilai positif (hidup rukun, gotong-royong, dll) dalam masyarakat.

Refleksi

Setelah kita mempelajari materi wawasan nusantara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI), tentunya kalian semakin paham akan pentingnya wawasan nusantara bagi kehidupan. Oleh karena itu, kesadaran tersebut harus senantiasa dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia. Coba kalian renungkan perjalanan para pejuang pahlawan sebelum kemerdekaan, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Ibu Dewi Sartika, Ibu RA. Kartini, dan masih banyak lagi. Kemudian, jawablah pertanyaan- pertanyaan di bawah ini:

  1. Bagaimanakah keadaan negara Indonesia pada saat zaman kerajaan?
  2. Mengapa semua raja atau tokoh masyarakat menolak dan melawan untuk dijajah, padahal belum ada alat komunikasi untuk bersama-sama melawan penjajah?
  3. Nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam perjuangan para pahlawan tersebut yang dapat kalian contoh dan lakukan dalam kehidupan sehari-hari?
  4. Apa saja yang telah kalian perbuat sebagai wujud kesadaran kalian sebagai warga negara Indonesia?
  5. Apa manfaat dan hal-hal yang patut dicontoh tentang kesadaran berbangsa dan bernegara dari para Pahlawan Nasional?

                                                                                                Mas’ud Atanggae

                                                                                                Yakin Usaha Sampai

Dinamika Penyelenggaraan Negara Dalam Konsep NKRI

Kompetensi Dasar :

3.7.   Menganalisis dinamika penyelenggaraan negara dalam konsep NKRI dan konsep negara federal

4.7.   Menyaji hasil analisis dinamika penyelenggaraan negara dalam konsep NKRI dan konsep negara federal.

A.  KONSEP NEGARA KESATUAN DAN NEGARA FEDERAL

  1. Bentuk Negara Kesatuan

Negara Kesatuan adalah negara bersusunan tunggal, yakni kekuasaan untuk mengatur seluruh daerahnya ada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat memegang kedaulatan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar. Hubungan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan daerahnya dapat dijalankan secara langsung. Dalam negara kesatuan hanya ada satu konstitusi, satu kepala negara, satu dewan menteri (kabinet), dan satu parlemen. Demikian pula dengan pemerintahan, yaitu pemerintah pusatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam segala aspek pemerintahan. Ciri utama negara kesatuan adalah supremasi parlemen  pusat dan tiadanya badan-badan lain yang berdaulat.

Negara kesatuan dapat dibedakan menjadi dua macam sistem, yaitu:

  1. Sentralisasi
  2. Desentralisasi.

Dalam negara kesatuan bersistem sentralisasi, semua hal diatur dan diurus oleh pemerintah pusat, sedangkan daerah hanya menjalankan perintah-perintah dan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat. Daerah tidak berwewenang membuat peraturan-peraturan sendiri dan atau mengurus rumah tangganya sendiri. Keuntungan sistem sentralisasi:

  1. Adanya keseragaman (uniformitas) peraturan di seluruh wilayah negara;
  2. Adanya kesederhanaan hukum, karena hanya ada satu lembaga yang berwenang membuatnya;
  3. Penghasilan daerah dapat digunakan untuk kepentingan seluruh wilayah negara.

Kerugian sistem sentralisasi:

  1. Bertumpuknya pekerjaan pemerintah pusat, sehingga sering menghambat kelancaran jalannya pemerintahan;
  2. Peraturan/ kebijakan dari pusat sering tidak sesuai dengan keadaan/ kebutuhan daerah;
  1. Daerah-daerah lebih bersifat pasif, menunggu perintah dari pusat sehingga melemahkan sendi-sendi pemerintahan demokratis karena kurangnya inisiatif dari rakyat;
  2. Rakyat di daerah kurang mendapatkan kesempatan untuk memikirkan dan bertanggung jawab tentang daerahnya;
  3. Keputusan-keputusan pemerintah pusat sering terlambat.

Dalam negara kesatuan bersistem desentralisasi, daerah diberi kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri (otonomi, swatantra). Untuk menampung aspirasi rakyat di daerah, terdapat parlemen daerah. Meskipun demikian, pemerintah pusat tetap memegang kekuasaan tertinggi.

Keuntungan sistem desentralisasi:

  1. Pembangunan daerah akan berkembang sesuai dengan ciri khas daerah itu sendiri;
  2. Peraturan dan kebijakan di daerah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah itu sendiri;
  3. Tidak bertumpuknya pekerjaan pemerintah pusat, sehingga pemerintahan dapat berjalan lancar;
  4. Partisipasi dan tanggung jawab masyarakat terhadap daerahnya akan meningkat;
  5. Penghematan biaya, karena sebagian ditanggung sendiri oleh daerah.

Sedangkan kerugian sistem desentralisasi adalah ketidakseragaman peraturan dan kebijakan serta kemajuan pembangunan.

  1. Bentuk  Negara Federal/serikat
Gambar 4. Kongres adalah cabang legislatif Pemerintah Federal AS. Kongres memiliki dua kamar, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. DPR terdiri dari 435 anggota yang memiliki hak suara, tiap anggota itu mewakili sebuah distrik kongres dan bertugas selama dua tahun.

Negara serikat (federasi) adalah suatu Negara yang merupakan gabungan dari beberapa Negara bagian dari Negara serikat itu. Artinya, suatu negara yang merdeka dan berdaulat serta berdiri sendiri kemudian menggabungkan diri dalam suatu negara serikat sehingga menjadi negara bagian yang melepaskan sebagian kekuasaannya kepada negara serikat itu. Biasanya negara-negara bagian tersebut merupakan negara ruang merdeka penuh dan bedaulat penuh. Dengan menggabungkan diri kedalam suatu negara serikat, maka negara yang tadinya berdiri sendiriitu kemudian menjadi negara bagian, melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkan kepada induk negara serikat. Kekuasaan yang diserahkannya itu disebut satu demi satu atau limitatif, hanya kekuasaan yang disebutkan itulah yang diserahkan kepada negara serikat atau delegated powers.

Ciri-ciri negara serikat/ federal:

  1. Tiap negara bagian memiliki kepala negara, parlemen, dewan menteri (kabinet) demi kepentingan negara bagian;
  2. Tiap negara bagian boleh membuat konstitusi sendiri, tetapi tidak boleh bertentangan dengan konstitusi negara serikat;
  3. Hubungan antara pemerintah federal (pusat) dengan rakyat diatur melalui negara bagian, kecuali dalam hal tertentu yang kewenangannya telah diserahkan secara langsung kepada pemerintah federal.

            Dalam praktik kenegaraan, jarang dijumpai sebutan jabatan kepala negara bagian (lazimnya disebut gubernur negara bagian). Pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan negara bagian ditentukan oleh negara bagian, sehingga kegiatan pemerintah federal adalah hal ikhwal kenegaraan selebihnya (residuary power).

Pada umumnya kekuasaan yang dilimpahkan negara-negara bagian kepada pemerintah federal meliputi:

  1. Hal-hal yang menyangkut kedudukan negara sebagai subyek hukum internasional, misalnya: masalah daerah, kewarganegaraan dan perwakilan diplomatik;
  2. Hal-hal yang mutlak mengenai keselamatan negara, pertahanan dan keamanan nasional, perang dan damai;
  3. Hal-hal tentang konstitusi dan organisasi pemerintah federal serta azas-azas pokok hukum maupun organisasi peradilan selama dipandang perlu oleh pemerintah pusat, misalnya: mengenai masalah uji material konstitusi negara bagian;
  4. Hal-hal tentang uang dan keuangan, biaya penyelenggaraan pemerintahan federal, misalnya: hal pajak, bea cukai, monopoli, matauang (moneter);
  5. Hal-hal tentang kepentingan bersama antarnegara bagian, misalnya: masalah pos, telekomunikasi, statistik.

Menurut C.F. Strong, yang membedakan negara serikat yang satu dengan yang lain adalah:

  1. Cara pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian;
  2. Badan yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian.

Berdasarkan kedua hal tersebut, lahirlah bermacam-macam negara serikat, antara lain:

  1. Negara serikat yang konstitusinya merinci satu persatu kekuasaan pemerintah federal, dan kekuaasaan yang tidak terinci diserahkan kepada pemerintah negara bagian. Contoh negara serikat semacam itu antara lain: Amerika Serikat, Australia, RIS (1949);
  2. Negara serikat yang konstitusinya merinci satu persatu kekuasaan pemerintah negara bagian, sedangkan sisanya diserahkan kepada pemerintah federal. Contoh: Kanada dan India;
  3. Negara serikat yang memberikan  wewenang kepada mahkamah agung federal dalam menyelesaikan perselisihan di antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Contoh: Amerika Serikat dan Australia;
  4. Negara serikat yang memberikan kewenangan kepada parlemen federal dalam menyelesaikan perselisihan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Contoh: Swiss.
  1. B. Dinamika Penyelenggaraan Negara Dalam Konsep NKRI Dan Negara Federal

      Penyelenggaraan Negara meliputi bagaimana pemerintahan itu dijalankan oleh penyelenggara Negara. Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara pada hakikatnya merupakan uraian tentang bagaimana mekanisme pemerintahan negara dijalankan oleh Presiden sebagai pemegang kekuasaan Pemerintahan Negara. Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara ialah sistem bekerjanya Pemerintahan sebagai fungsi yang ada pada Presiden. Pada dasarnya Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara tidak membicarakan Sistem Penyelenggaraan Negara oleh lembaga-lembaga Negara secara keseluruhan. Dalam arti sempit, istilah Penyelenggaraan Negara tidak mencakup Lembagalembaga Negara yang tercantum dalam UUD 1945. Sedangkan dalam arti luas, istilah penyelenggaraan negara mengacu pada tataran supra struktur politik (lembaga negara dan lembaga pemerintah), maupun pada tataran infrastruktur politik (organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan). Dengan demikian, yang dimaksud dengan Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Negara sebenarnya adalah mekanisme bekerjanya lembaga eksekutif, yang dipimpin oleh Presiden baik selaku Kepala Pemerintahan maupun sebagai Kepala Negara.

                  Adapun Asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimandisebutkan dalam UU No. 28 Tahun 1999 adalah: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbuakaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.

  1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.
  2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu menjadi landasan keteraturan, keserasian, keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan negara.
  3. Asas Kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan kolektif.
  4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperolah informasi yang benar , jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
  5. Asas Proporsoionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
  6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negera harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    1. Penyelengaraan Negara pada awal kemerdekaan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)

UUD 1945 dirancang oleh BPUPKI sebelum kemerdekaan bangsa indonesia diproklamasikan. Rancangan itu kemudian disahkan oleh PPKI menjadi kostitusi negara republik Indonesia. UUD 1945 disahkan sebagai langkah untuk menindaklanjuti proklamasi kemerdekaan RI. Begitu kemerdekaan diproklamasikan, Indonesia lahir sebagai negara. Sebagai negara, dengan sendirinya Indonesia harus memiliki konstitusi untuk mengatur kehidupan ketatanegaraannya. Untuk itu, UUD 1945 disahkan menjadi konstitusi. Sebagai konstitusi negara, UUD 1945 berisi hal-hal prinsip tentang negara Indonesia. Hal-hal itu diantaranya mencakup dasar negara, tujuan negara, bentuk negara, bentuk pemerintah, sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan. Dari hal-hal pokok ini, empat yang terakhir yakni : bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem pemerintahan.           

Menurut UUD 1945 bentuk negara Indonesia adalah kesatuan. Hal ini sesuai dengan pasal 1 ayat (1). Dengan bentuk kesatuan,kekuasaan negara dikendalikan atau dipegang oleh pemerintah pusat. Namun, pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah daerah disebut sebagai desentralisasi. Sebagai negara kesatuan, Indonesia menggunakan dan mengembangkan sistem desentralisasi seperti yang diatur dalam pasal 18 UUD 1945. Setiap daerah bersifat otonom, yakni memiliki wewenang untuk mengatur urusannya sendiri. Tetapi, hal ini menyangkut masalah administrasi belaka, serta tidak menjadikan daerah sebagai “ negara” yang tersendiri. Di dalam wilayahnya Indonesia tidak akan memiliki daerah yang bersifat staat (negara)-tidak akan ada “negara” didalam negara.

Daerah-daerah Indonesia dibagi kedalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula menjadi daerah yang lebih kecil yang masing-masing memiliki otonomi. Pembagian atas daerah-daerah otonomi ini dilakukan dengan undang-undang. Di setiap daerah yang bersifat otonom dibentuk badan perwakilan/permusyawaratan rakyat karena pemerintahan daerah pun akan menjalankan prinsip permusyawaratan (musyawarah) yang demokratis.

Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945, Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Dengan bentuk republik, kekuasaan pemerintahan negara dipegang oleh Presiden.  Presiden  merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Presiden memperoleh kekuasaan tersebut karena dipilih oleh rakyat melalui tata cara tertentu berdasarkan undang-undang. Untuk pertama pada awal pembentukan negara setelah merdeka, presiden dan wakil presiden dipilih oleh PPKI. Hal ini karena MPR, sebagai lembaga pemilih dan pengangkat presiden, ketika itu belum terbentuk. Pembentukan MPR belum dapat dilakukan karena pemilihan umum (pemilu) untuk memilih para anggota MPR belum dapat diselenggarakan.

Berdasarkan UUD 1945, Indonesia menganut sistem pemerintahan kabinet presidensial. Menurut sistem ini, presiden adalah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi dibawah MPR. Tetapi, akibat keadaan transisi (masa peralihan) yang cenderung bersifat darurat, penyelenggaraan negara dengan ketentuan seperti itu belum dapat sepenuhnya dilakukan. Pada saat itu, kekuasaan presiden dapat dikatakan sangat luas. Menurut pasal IV Aturan Peralihan, selain menjalankan kekuasaan eksekutif, presiden juga menjalankan kekuasaan MPR dan DPR. Selain presiden dan wakil presiden saat itu hanya ada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berkedudukan sebagai pembantu presiden. Praktis presiden menjalankan kekuasaan yang seluas-luasnya tanpa diimbangi dan diawasi lembaga negara lainnya. Ketentuan pasal IV Aturan Peralihan tersebut menimbulkan kesan bahwa kekuasaan presiden mutlak atau tak terbatas (absolut). Hal ini kiranya perlu di netralisasi maka, kemudian dikeluarkan maklumat Wakil Presiden No. X Tanggal 16 Oktober 1945, yang isinya memberikan kewenangan kepada KNIP untyk memegang kekuasaan legislatif dan ikut serta menetapkan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara).

Pada masa awal kemerdekaan, ketentuan-ketentuan yang dinamakan UUD 1945 belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan oleh belum lengkapnya lembaga-lembaga negara seperti yang dikehendaki dalam UUD 1945. Pada masa itu belum ada lembaga-lembaga negara yang berhubungan langsung dengan Presiden, seperti MPR, DPR, dan DPA.

Untuk menjalankan pemerintahan negara sebagaimana mestinya maka digunakanlah ketentuan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan bahwa: Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan sebuah komite nasional.

Berdasarkan pasal tersebut, jelaslah bahwa kekuasaan Presiden sangat luas, yang meliputi kekuasaan eksekutif dan legislatif bahkan berwenang melaksanakan tugas-tugas MPR. Pada masa itu kekuasaan Presiden seolah-olah “diktator” karena tidak ada lembaga negara lain yang mengimbangi kekuasaan Presiden.

Komite Nasional Indonesia Pusat yang dipilih tanggal 29 Agustus 1945 berkedudukan hanya sebagai pembantu Presiden. Hal ini berarti KNIP tidak dapat mengekang kekuasaan Presiden dan tidak dapat melaksanakan tugas-tugas DPR atau MPR. Demikian pula wakil Presiden (yang dipilih tanggal 18 Agustus 1945), dan para Menteri (yang dilantik 2 September 1945) semuanya berkedudukan sebagai pembantu Presiden.

Untuk mengurangi kekuasaan Presiden yang sangat luas tersebut, pada tanggal 16 Oktober 1945 wakil Presiden atas usul KNIP mengeluarkan maklumat nomor X yang menetapkan bahwa: “Sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN”. Selain itu, maklumat juga menentukan bahwa KNIP, berhubungan dengan gentingnya keadaan mendelegasikan kekuasaannya kepada sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawab kepada KNIP.

Dengan keluarnya maklumat tersebut, maka kedudukan KNIP yang asalnya sebagai pembantu Presiden berdasarkan pasal IV aturan peralihan berubah menjadi lembaga legislatif dan bahkan mempunyai wewenang untuk ikut menetapkan GBHN. Hal ini berarti KNIP merupakan “partner” Presiden dalam menetapkan Undang-Undang dan GBHN. Sebaliknya, dengan keluarnya maklumat wakil Presiden No. X, kekuasaan Presiden yang sangat luas itu menjadi berkurang.

Pada tanggal 11 November 1945, BA dan Pekerja mengusulkan kepada Presiden supaya adanya sistem pertanggungjawaban menteri-menteri kepada parlemen yaitu KNIP, dengan alasan antara lain untuk memberlakukan kedaulatan rakyat. Usul Badan Pekerja tersebut diterima baik oleh Presiden.

Dengan diterimanya sistem pertanggungjawaban Menteri kepada KNIP oleh Presiden, maka pada tanggal 14 November 1945 dikeluarkan maklumat pemerintah yang menetapkan bahwa kabinet presidensial di bawah pimpinan Presiden Soekarno meletakan jabatan dan diganti oleh kabinet baru dengan Sultan Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Oleh karena itu, menteri-menteri menjadi anggota dari kabinet yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri dan tidak lagi bertanggung jawab kepada Presiden.

  1. Penyelenggaraan Negara pada masa berlakunya Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)

Sejak akhir tahun 1949 terjadi pergantian konstitusi di Indonesia. Hal ini terkait dengan situasi politik dalam negeri Indonesia yang sedikit terguncang akibat agresi dan campur tangan Belanda. Setelah Indonesia memproklamasirkan kemerdekaan, Belanda datang ke Indonesia untuk kembali menjajah dan menguasai Indonesia. Oleh sebab itu,  dalam kurun waktu 1945-1949 Indonesia harus berperang melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Selama itu, selain terlibat dalam berbagai pertempuran, Indonesia dan Belanda juga terlibat perundingan damai. Melalui perundingan-perundingan itu akhirnya dicapai kesepakatan bahwa Indonesia diubah menjadi negara federal atau serikat. Nama Republik Indonesia berganti menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dan sebagai undang-undang dasar negara digunakan Konstitusi RIS. Konstitusi ini dibuat pada tahun 1949 sehingga lazim disebut Konstitusi RIS 1949. Sebenarnya Konstitusi RIS 1949 bersifat sementara saja. Menurut salah satu pasal dalam konstitusi ini yakni pasal 186 akan dibentuk konstitusi permanen atau tetap untuk menggantikan Konstitusi RIS 1949. Konstitusi tetap ini akan dibentuk oleh Konstituante, yakni lembaga khusus pembuat konstitusi. Konstitusi RIS 1949 diberlakukan sejak tanggal 27 desember 1949. Pasal yang terdapat dalam konstitusi ini berjumlah 197 buah.

Berdasarakan Konstitusi RIS 1949, negara Indonesia berbentuk serikat atau federal. Ketentuan ini tercantum dalam pasal 1 ayat (1) konstitusi tersebut. Ketentuan ini bertolak belakang dengan ketentuan tentang bentuk negara yang diamanatkan UUD 1945, yang menyatakan Indonesia sebagai negara yang berbentuk kesatuan. Pada prinsipnya negara serikat atau federal adalah negara yang terbagi-bagi atas berbagai negara bagian. Begitu juga dengan yang dialami oleh Indonesia setelah menjadi negara serikat. Sebagai negara serikat, Indonesia terbelah-belah menjadi beberapa bagian, yakni menjadi tujuh negara bagian dan sembilan satuan kenegaraan.  Ketujuh negara bagian itu adalah :

  1. Negara Republik Indonesia
  2. Negara Indonesia Timur
  3. Negara Pasundan (termasuk Distrik Federal Jakarta)
  4. Negara Jawa Timur
  5. Negara Madura
  6. Negara Sumatra Timur
  7. Negara Sumatra Selatan

Pemerintahan negara RIS berbentuk Republik. Pemerintahan terdiri atas presiden dan kabinet. Adapun kedaulatan negara dipegang oleh presiden, kabinet, DPR, dan senat. Hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) Konstitusi RIS. Dalam pemerintahan negara RIS terdapat alat perlengkapan federal berupa presiden, menteri, senat, DPR, Mahkamah Agung, dan Dewan Pengawas Keuangan. Pemerintahan RIS menganut sistem kabinet parlementer, artinya kebijakan dan tanggung jawab kekuasaan pemerintah berada ditangan menteri baik secara bersama maupun individual. Para menteri tidak bertanggung jawab kepada presiden, tetapi kepada parlemen (DPR).

tur dalam pasal 118 ayat 1 dan 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa ”Presiden tidak dapat diganggu-gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan yang bertanggung jawab atas tugas pemerintahan? Pada Pasal 118 ayat (2) ditegaskan bahwa ”Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing- masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertanggungjawabkan tugas-tugas pemerintahan  adalah menterimenteri. Dalam sistem ini, kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri. Lalu, kepada siapakah pemerintah bertanggung jawab? Dalam sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).Implementasi yang salah mengakibatkan pemerataan pembangunan tidak terjadi, kualitas pemimpin nasional buruk, biaya hidup di luar Jawa tinggi;

  • Kewenangan daerah  dibatasi kepentingan pusat;
  • Daerah kurang ditonjolkan karena yang diutamakan adalah ke-Indonesiaan.
    • Keunggulan dan Kerugian Bentuk Negara Federal
      Keunggulan secara teori
      Keunggulan konsep negara federal secara teori:
  • Kewenangan pejabat daerah lebih luas sehingga diharapkan lebih kreatif;
  • Tokoh daerah  di tingkat nasional  merata berasal dari seluruh daerah walaupun sebenarnya ada yang tidak berkualitas;
  • Daerah yang memiliki potensi alam yang  baik bisa lebih cepat berkembang .

Kerugian berdasarkan fakta
Kerugian konsep negara federal berdasarkan fakta:

  1. Tidak semua bidang dikendalikan pusat sehingga bisa terjadi kesenjangan  dalam bidang yang urusannya diserahkan kepada daerah, misalkan: pendidikan, kesehatan, dll;
  2. Kualitas tokoh nasional   tidak terjamin karena yang diutamakan merupakan perwakilan daerah;
  3. Biaya demokrasi mahal karena pemilihan pejabat dilakukan berkali-kali;
  4. Kepemimpinan pusat dan daerah bisa tidak sejalan karena merasa memiliki kepentingan masing-masing;
  5. Biaya kegiatan perekonomian menjadi  tinggi karena pejabat daerah menjadi “raja-raja kecil”;
  6. Kesejahteraan rakyat bisa tidak merata sehingga terbentuk kelompok daerah kaya, sedang, dan miskin;
  7. Korupsi semakin meningkat, baik pelaku  maupun jumlah nilai uang yang dikorupsi;
  8. Seringkali ketidak-puasan terhadap apa yang terjadi di daerah disikapi dengan amuk massa yang akibatnya merusak kesinambungan kerja bangsa, dan anggaran negara terkuras untuk merenovasi akibat kerusakan yang terjadi.

Berdasarkan perbandingan tersebut, dilihat dari sisi manfaatnya untuk seluruh rakyat Indonesia, maka secara teori konsep bentuk negara kesatuan lebih unggul dibanding dengan bentuk negara federal. Kalau selama ini berdasarkan realitanya bahwa konsep negara kesatuan tidak seperti yang diteorikan berarti ada implementasi pelaksanaannya yang salah. Karena itu implementasi yang tidak benar inilah yang seharusnya diluruskan, misal: konsep pemerataan yang tidak jalan, rekrutmen kepemimpinan bangsa yang tidak profesional, kebijakan negara yang mendukung konsep NKRI tidak jelas, dll. Sedangkan pilihan bentuk negara federal jelas-jelas akan merugikan, karena secara teori tidak berorientasi pada pemerataan kesejahteraan  di seluruh wilayah Indonesia, tetapi mengutamakan kesuksesan suatu daerah yang  berpotensi.  Kalaupun negara USA itu memilih bentuk negara federal,  karena mereka tidak mungkin memilih bentuk negara  kesatuan. Negara federal itu biasanya merupakan gabungan  dari negara-negara kecil yang sebenarnya sudah memiliki pemerintahan. Dengan demikian seharusnya Indonesia lebih beruntung,  karena kondisi bangsa saat itu memungkinkan Indonesia membentuk negara kesatuan. Dimana secara teori, kalau negara ini dimanajemeni dengan benar, maka ke depannya akan bisa membuat Indonesia lebih unggul dibandingkan USA dan ada harapan bisa menyusul Cina. Apalagi pernah terdengar isu pemisahan terhadap beberapa negara bagian di USA setelah Obama terpilih yang kedua kalinya, walaupun kemudian  itu tidak terbukti. Tetapi Unisovyet, Yugoslavia telah mengalaminya. Jadi pilihan bentuk negara kesatuan perlu dipertahankan, dan bentuk penyimpangan terhadap konsep NKRI-lah yang  harus diluruskan, jika benar-benar di Indonesia ini menghendaki adanya pemerataan kesejahteraan, baik pemerataan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia maupun pemerataan kesejahteraan antar daerahnya. Bukan hanya kesejahteraan wilayah tertentu, ataupun kesejahteraan para pemimpin daerahnya

Mas’ud Atanggae

Yakin Usaha Sampai

Pengaruh Kemajuan Iptek Terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pengaruh Kemajuan Iptek Terhadap NKRI

A. Mengidentifikasi Pengaruh Kemajuan Iptek terhadap NKRI

Pada abad ke-20, rekayasa teknologi yang dikembangkan oleh manusia terus mengalami kemajuan bahkan menuju kesempurnaan. Pada abad ini ditemukan beberapa alat yang sangat menunjang pada perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, seperti munculnya televisi, komputer, telepon dan sebagainya. Selain itu, perkembangan teknologi transportasi juga semakin menunjukkan bahwa dunia ini tanpa batas. Alat-alat transportasi seperti mobil, kapal laut dan pesawat udara seakan-akan membuat jarak antardaerah bahkan antarnegara sekalipun semakin pendek dan bisa ditempuh hanya dengan hitungan jam paling lama hitungan hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemajuan iptek sedang dinikmati oleh seluruh masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Kemajuan iptek tentunya memberikan pengaruh bagi kehidupan sebuah bangsa, baik itu pengaruh positif maupun negatif. Berikut ini dipaparkan pengaruh positif dan negatif dari kemajuan iptek dalam berbagai aspek kehidupan.

1. Pengaruh Positif Kemajuan Iptek bagi Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara

a.  Aspek Politik.

Tidak dapat pungkiri bahwa kemajuan iptek telah berhasil menanamkan nilai-nilai dalam kehidupan politik bangsa Indonesia yang selama ini dianggap tabu. Kemajuan iptek, menjadikan nilai-nilai seperti keterbukaan, kebebasan dan demokrasi berpengaruh kuat terhadap pikiran maupun kemauan bangsa Indonesia. Dengan adanya keterbukaan, dimungkinkan akan dapat mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga dapat dicapai pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dengan adanya pemerintahan yang demokratis, sangat dimungkinkan akan meningkatnya kualitas dan kuantitas partisipasi politik rakyat dalam penentuan kebijakan publik oleh pemerintah. Sementara itu dengan adanya kebebasan dalam arti kebebasan yang bertanggung jawab, maka setiap orang dapat meningkatkan kualitas dirinya dengan kreativitas dalam kehidupannya tentu saja dalam hal-hal positif. Dengan dilaksanakannya nilai-nilai tersebut, akan menjadi alat kontrol yang efektif dan efi sien terhadap keberlangsungan suatu pemerintahan, sehingga pada akhirnya akan tercipta pemerintahan yang bersih, jujur, adil, dan aspiratif.

b.  Aspek Ekonomi.

 Pengaruh positif iptek bagi kehidupan ekonomi yang dapat kita ambil di antaranya: 1) Makin meningkatnya investasi asing atau penanaman modal asing di negara kita. 2) Makin terbukanya pasar internasional bagi hasil produksi dalam negeri 3) Mendorong para pengusaha untuk meningkatkan efi siensi dan menghilangkan biaya tinggi. 4) Meningkatkan kesempatan kerja dan devisa negara. 5) Meningkatkan kemakmuran masyarakat. 6) Menyediakan dana tambahan untuk pembangunan ekonomi.

c.  Aspek Sosial Budaya

Kemajuan teknologi dan informasi yang ditandai dengan munculnya internet dan makin canggihnya alat-alat komunikasi secara langsung telah mempermudah kita untuk memperoleh informasi dari belahan bumi lainnya, sehingga kita secara tidak langsung telah melakukan proses tranformasi ilmu yang sangat bermanfaat bagi kita. Selain itu juga, dengan adanya informasi tersebut kita bisa mencontoh atau belajar banyak dari tata nilai sosial budaya, cara hidup, pola berpikir yang baik, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi dari bangsa lain yang telah maju untuk kemajuan dan kesejahteraan kita. Misalnya kita bisa mencontoh etos kerja dan semangat kerja keras yang ditampilkan oleh orang lain untuk kita terapkan dalam kehidupan kita.

d. Aspek Hukum, Pertahanan, dan Keamanan.

Pengaruh positif iptek dalam bidang hukum, pertahanan, dan keamanan yang dapat kita ambil di antaranya: 1) Makin menguatnya supremasi hukum, demokratisasi dan tuntutan terhadap dilaksanakannya hak asasi manusia. 2) Menguatnya regulasi hukum dan pembuatan peraturan perundangundangan yang memihak dan bermanfaat untuk kepentingan rakyat banyak. 3) Makin menguatnya tuntutan terhadap tugas-tugas penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) yang lebih profesional, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. 4) Menguatnya supremasi sipil dengan mendudukan tentara dan polisi sebatas penjaga keamanan, kedaulatan, dan ketertiban negara.

2. Pengaruh Negatif Iptek bagi Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara.

Selain mempunyai pengaruh yang positif, kemajuan iptek juga melahirkan pengaruh yang negatif bagi kehidupan kita. Di antara pengaruh negatif tersebut, seperti dalam aspek berikut ini.

  1. Aspek Politik

Kemajuan iptek melalui globalisasi untuk sementara telah mampu meyakinkan sebagian masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa manusia ke arah kemajuan dan kemakmuran. Hal ini akan memengaruhi pikiran mereka untuk berpaling dari ideologi Pancasila dan mencari alternatif ideologi lain seperti halnya liberalisme. Nilai-nilai yang dibawa iptek seperti keterbukaan, kebebasan dan demokratisasi tidak menutup kemungkinan akan disalahartikan oleh masyarakat Indonesia. Akibatnya, hal tersebut terjadi, akan menimbulkan terganggunya stabilitas politik nasional seiring dengan terjadinya tindakan-tindakan anarki sebagai reaksi terhadap sikap pemerintah yang menurut mereka tidak terbuka, tidak memberikan kebebasan dan tidak demokratis kepada rakyatnya. Hal ini akan senantiasa terjadi jika antara rakyat dan pemerintah belum menemukan kesamaan dalam memahami nilai-nilai yang dibawa iptek tersebut. Pengaruh negatif lainnya dari kemajuan iptek yang mesti diwaspadai adalah munculnya gerakan-gerakan radikalisme dan terorisme. Para pelaku gerakan tersebut pada umumnya merupakan orang-orang yang terampil dalam memanfaatkan teknologi. Tidak jarang di antara mereka mempuyai keterampilan dalam merakit senjata, merakit bom dan sebagainya. Hanya sayangnya, keterampilan mereka tersebut digunakan untuk mengganggu keamanan negara sehingga stabilitas negara menjadi terancam.

  • Aspek Ekonomi

Kemajuan iptek memberikan pengaruh negatif terhadap kehidupan ekonomi seperti berikut ini: 1) Indonesia akan dibanjiri oleh barang-barang dari luar seiring dengan adanya perdagangan bebas yang tidak mengenal adanya batas-batas negara. Hal ini mengakibatkan makin terdesaknya barang-barang lokal terutama yang tradisional karena kalah bersaing dengan barang-barang dari luar negeri. 2) Cepat atau lambat, perekonomian negara kita akan dikuasai oleh pihak asing, seiring dengan makin mudahnya orang asing menanamkan modalnya di Indonesia, yang pada akhirnya mereka dapat mendikte atau menekan pemerintah atau bangsa kita. Dengan demikian, bangsa kita akan dijajah secara ekonomi oleh negara investor. 3) Akan timbulnya kesenjangan sosial yang tajam sebagai akibat dari adanya persaingan bebas.

4) Pemerintah hanya sebagai regulator pengaturan ekonomi yang mekanismenya akan ditentukan oleh pasar. 5) Sektor-sektor ekonomi rakyat yang diberikan subsidi semakin berkurang, koperasi makin sulit berkembang dan penyerapan tenaga kerja dengan pola padat karya makin ditinggalkan.

c.  Aspek Sosial Budaya

Kemajuan iptek dapat melahirkan pengaruh negatif bagi perilaku masyarakat, seperti berikut ini: 1) Munculnya gaya hidup konsumtif dan selalu mengonsumsi barangbarang dari luar negeri. 2) Munculnya sifat hedonisme, yaitu kenikmatan pribadi dianggap sebagai suatu nilai hidup tertinggi. Hal ini membuat manusia suka memaksakan diri untuk mencapai kepuasan dan kenikmatan pribadinya tersebut, meskipun harus melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Seperti mabuk-mabukan, pergaulan bebas, foya-foya, dan sebagainya.

3) Adanya sikap individualisme, yaitu sikap selalu mementingkan diri sendiri serta memandang orang lain itu tidak ada dan tidak bermakna. Sikap seperti ini dapat menimbulkan ketidakpedulian terhadap orang lain, misalnya sikap selalu menghardik pengemis, pengamen, dan sebagainya. 4) Bisa mengakibatkan kesenjangan sosial yang semakin tajam antara yang kaya dan miskin. 5) Munculnya gejala westernisasi, yaitu gaya hidup yang selalu berorientasi kepada budaya Barat tanpa diseleksi terlebih dahulu, seperti meniru model pakaian yang biasa dipakai orang-orang barat yang sebenarnya bertentangan dengan nilai dan norma-norma yang berlaku misalnya memakai rok mini, lelaki memakai anting-anting, dan sebagainya. 6) Makin memudarnya semangat gotong royong, solidaritas, kepedulian, dan kesetiakawanan sosial. 7) Makin lunturnya nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat.

d.  Aspek Hukum, Pertahanan, dan Keamanan

Dampak negatif yang timbul dari kemajuan iptek dalam aspek ini antara lain akan menimbulkan tindakan anarkis dari masyarakat yang dapat mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu, peran masyarakat dalam menjaga keamanan, ketertiban dan kedaulatan negara semakin berkurang.

B. Membangun Sikap Selektif Dalam Menghadapi Berbagai Pengaruh Kemajuan Iptek

1. Sikap Tanggung Jawab dalam Pengembangan Iptek

Bagaimanapun juga, manusia hidup di dunia ini tidak dapat melepaskan diri dari kemajuan iptek. Dengan iptek, hidup manusia akan dipermudah. Agar tidak menimbulkan permasalahan dan dampak negatif, manusia perlu memiliki tanggung jawab etis di dalam mengembangkan dan menerapkan iptek. Bagi bangsa Indonesia, di dalam mengembangkan dan menerapkan iptek perlu mengingat landasan idealnya, yaitu Pancasila dan landasan konstitusionalnya, yaitu UUD NRI Tahun 1945. Dalam kaitannya dengan Pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebenarnya telah memberikan peringatan kepada kita bahwa semua ilmu yang ada di dunia berasal dari Tuhan. Alam semesta ini adalah objek kajian ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, sejak dahulu Tuhan telah menciptakan bahwa benda yang berat jenisnya kurang dari satu akan terapung di air. Prinsip ini kemudian ditemukan oleh manusia. Tuhan Yang Maha Kuasa menciptakan alam semesta untuk kemaslahatan umat manusia. Menyadari kenyataan ini, setiap manusia Indonesia di dalam mengembangkan dan menerapkan iptek sudah selayaknya mengingat ajaran dan perintah Tuhan. Iptek harus dikembangkan dan diterapkan untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk menyiksa dan mencelakakan manusia.

Usaha pengembangan dan pemanfaatan iptek, setiap manusia Indonesia harus memiliki kearifan dan berpegang pada prinsip moral. Dengan demikian, pemanfaatan iptek dalam kegiatan pembangunan tidak akan merusak lingkungan hidup. Akan tetapi, kalau iptek dimanfaatkan tanpa kearifan dan tidak dengan pertimbangan moral, kecenderungan untuk merusak lingkungan lebih besar. Sebagai contoh dinamit dan bahan peledak dimanfaatkan untuk mencari dan menangkap ikan. Hal itu tentunya yang akibatnya dapat merusak habitat dan lingkungan.

Seseorang yang menggunakan bahan peledak, jelas semata-mata hanya demi keuntungan pribadi, tidak didasari pertimbangan moral dan akibat baik buruknya dari tindakan itu. Contoh lain misalnya nuklir. Energi ini sebenarnya besar sekali manfaatnya dalam pembangunan, termasuk untuk bidang kesehatan. Akan tetapi, kalau nuklir jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, dibuatlah senjata pemusnah, yang sangat mengancam hidup manusia dan lingkungannnya.

Manusia di dalam mengembangkan dan menerapkan iptek sudah selayaknya disertai etika dan rasa tanggung jawab. Etika dalam hal ini, menyangkut pengertian luas, baik etika keilmuan maupun etika sosial kemanusiaan atau etika moral. Dari segi etika keilmuan, artinya di dalam mengembangkan iptek berdasarkan metode keilmuan dengan langkah-langkah yang sistematis dan bersifat objektif. Manusia mempelajari gejala alam apa adanya dengan tujuan dapat mengungkap rahasia alam dan menciptakan peralatan untuk mengontrol gejala tersebut sesuai dengan hukum alam.

Pengembangan dan pemanfaatan iptek yang selalu disertai dengan etika dan rasa tanggung jawab akan mendatangkan hikmah. Selain itu, juga akan terhindar dari kerusakan lingkungan hidup. Pengembangan dan pemanfaatan iptek yang demikian harus disadari sebagai ibadah.

2.  Sikap Selektif terhadap Pengaruh Kemajuan Iptek

Tidak ada satu pun negara bangsa di dunia ini yang bisa lepas dari pengaruh kemajuan iptek. Meskipun negara tersebut dikenal sebagai negara adidaya atau negara maju, tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari kemajuan iptek. Terlebih lagi Indonesia yang baru disebut sebagai negara berkembang, akan sangat sulit bagi negara kita untuk mengelak dari pengaruh atau implikasi kemajuan iptek. Akan tetapi, Indonesia sebagai bangsa yang besar harus mempunyai sikap yang tegas terhadap kemajuan iptek ini. Ada tiga alternatif sikap yang bisa diambil oleh bangsa kita dalam menghadapi kemajuan iptek. Pertama, menolak dengan tegas semua pengaruh kemajuan iptek dalam semua aspek kehidupan. Kedua, menerima sepenuhnya pengaruh tersebut tanpa disaring terlebih dahulu. Ketiga, bersikap selektif terhadap pengaruh tersebut, yaitu kita mengambil hal-hal positif dari kemajuan iptek dan membuang halhal negatifnya. Dari ketiga alternatif tersebut, sikap terbaik yang mesti kita ambil adalah sikap selektif. Dengan sikap seperti itu, kita dapat mengambil keuntungan dari kemajuan iptek dan terhindar dari dampak buruknya, karena semua pengaruh kemajuan iptek yang kita terima telah melalui proses penyaringan terlebih dahulu. Adapun alat penyaringnya adalah Pancasila.

  1. Sikap Selektif terhadap Pengaruh Kemajuan Iptek di Bidang Politik

Ada empat hal yang selalu dikedepankan pada saat ini dalam bidang politik, yaitu demokratisasi, kebebasan, keterbukaan dan hak asasi manusia. Keempat hal tersebut oleh negara-negara adidaya (Amerika Serikat dan sekutunya) dijadikan standar atau acuan bagi negara-negara lainnya yang tergolong sebagai negara berkembang. Acuan tersebut dibuat berdasarkan kepentingan negara adidaya tersebut, tidak berdasarkan kondisi negara yang bersangkutan. Apabila suatu negara tidak mengedepankan empat hal tersebut, akan dianggap sebagai musuh bersama.

Bangsa Indonesia harus mampu menunjukkan eksistensinya sebagai negara yang kuat dan mandiri, namun tidak meninggalkan kemitraan dan kerjasama dengan negara-negara lain dalam hubungan yang seimbang, saling menguntungkan, saling menghormati, dan menghargai hak dan kewajiban masing-masing. Untuk mencapai hal tersebut, bangsa Indonesia harus segera mewujudkan hal-hal sebagai berikut :

  1. Mengembangkan demokratisasi dalam segala bidang.
  2. Mengaktifkan masyarakat sipil dalam arena politik.
  3. Mengadakan reformasi lembaga-lembaga politik agar menjalankan fungsi dan peranannya secara baik dan benar.
  4. Memperkuat kepercayaan rakyat dengan cara menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
  5. Menegakkan supremasi hukum.
  6. Memperkuat posisi Indonesia dalam kancah politik internasional.
  • Sikap Selektif terhadap Pengaruh Kemajuan Iptek di Bidang Ekonomi

Sebenarnya sebelum menyentuh bidang politik, kemajuan iptek lebih dahulu terjadi pada bidang ekonomi seiring dengan berkembangnya proses globalisasi ekonomi. Sejak digulirkannya liberalisasi ekonomi oleh Adam Smith sekitar abad ke-15, telah melahirkan perusahaan-perusahaan multinasional yang melakukan aktivitas perdagangannya ke berbagai negara. Mulai abad ke-20, paham liberal kembali banyak dianut oleh negara-negara di dunia terutama negara maju. Hal ini membuat globalisasi ekonomi makin mempercepat perluasan jangkauannya ke semua tingkatan negara mulai negara maju sampai negara berkembang seperti Indonesia.

Sistem ekonomi kerakyatan merupakan senjata ampuh untuk melumpuhkan pengaruh negatif dari kemajuan iptek dan memperkuat kemandirian bangsa kita dalam semua hal. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu kiranya segera diwujudkan hal-hal di bawah ini: 1) Sistem ekonomi dikembangkan untuk memperkuat produksi domestik untuk pasar dalam negeri sehingga memperkuat perekonomian rakyat. 2) Pertanian dijadikan prioritas utama karena mayoritas penduduk Indonesia bermatapencaharian sebagai petani. 3) Industri-industri haruslah menggunakan bahan baku dari dalam negeri, sehingga tidak bergantung impor dari luar negeri. 4) Diadakan perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Artinya, segala sesuatu yang menguasai hajat hidup orang banyak, haruslah bersifat murah dan terjangkau. 5) Tidak bergantung pada badanbadan multilateral seperti pada IMF, Bank Dunia, dan WTO. 6) Mempererat kerja sama dengan sesama negara berkembang untuk bersama-sama mengahadapi kepentingan negara-negara maju.

Info Kewarganegaraan

Sikap selektif terhadap dampak kemajuan iptek dapat dipertegas salah satunya dengan meningkatkan daya saing Indonesia di dunia internasional. Kegiatan konkretnya adalah: 1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, misalnya tingkat pendidikannya, derajat kesehatannya, dan tingkat kesejahteraannya. 2. Meningkatkan komoditas ekonomi yang mutunya, jumlahnya, dan pasokannya, serta harganya bersaing. 3. Perbaikan perangkat hukum yang mengabdi pada kepentingan nasional. Dalam hal ini, hukum yang dibuat harus melindungi kepentingan bangsa dan negara bukan melindungi kepentingan asing.

  • Sikap Selektif terhadap Pengaruh Kemajuan Iptek di Bidang Sosial Budaya

 Dalam bidang sosial budaya, kemajuan iptek telah membawa pengaruh dalam perilaku yang ditampilkan oleh setiap masyarakat. Di antara pengaruh tersebut adalah dalam hal gaya hidup, gaya pakaian, dasar ikatan hidup bermasyarakat, dan semakin mudahnya mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan. Tiga hal yang disebutkan pertama, cenderung memberikan pengaruh yang negatif. Oleh karena itu, kita harus membentengi diri dengan nilai-nilai yang selama ini sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila. Adapun pengaruh yang disebutkan terakhir cenderung memberikan keuntungan bagi bangsa kita. Oleh karena itu, kita perlu mengadopsi hal tersebut dengan tidak mengabaikan nilai-nilai jati diri bangsa kita.

Kemajuan iptek salah satunya ditandai dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar hal tersebut bersifat positif dan dapat diserap ke dalam budaya kehidupan kita sehari-hari, maka kita perlu mengusahakan perubahan nilai dan prilaku, antara lain:

1) Terbuka terhadap inovasi dan perubahan.

2) Berorientasi pada masa depan daripada masa lampau.

3) Dapat memanfaatkan kegunaan iptek.

4) Menghargai pekerjaan sesuai dengan prestasi.

     5) Menggunakan potensi lingkungan secara tepat untuk pembangunan   berkelanjutan.

6) Menghargai dan menghormati hak-hak asasi manusia.

Yakin Usaha Sampai

Atanggae

Perlindungan dan Penegakan Hukum di Indonesia

Perlindungan dan Penegakan Hukum di Indonesia

A. Hakikat Perlindungan dan Penegakan Hukum

  1. Konsep Perlindungan dan Penegakan Hukum

Bayangkan apa yang akan terjadi apabila di keluarga tidak ada aturan, di sekolah tidak ada tata tertib, di lingkungan masyarakat tidak ada norma-norma sosial, di negara tidak ada undang-undang. Atau, apa yang akan terjadi apabila setiap pelanggaran dibiarkan begitu saja, pelakunya tidak diberikan teguran atau sanksi lainnya? Ketika hukum tidak dipatuhi atau dilaksanakan, akan terjadi adalah kekacauan di semua bidang kehidupan. Setiap orang akan berbuat seenaknya atau menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, sehingga keamanan, ketenteraman, dan ketertiban sulit terwujud. Nah, supaya hal-hal yang dikemukakan tadi tidak terjadi, harus diupayakan dilakukannya proses perlindungan dan penegakan hukum.

Apa sebenarnya perlindungan hukum itu? Menurut Andi Hamzah, perlindungan hukum dimaknai sebagai daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejah-teraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Makna tersebut tidak terlepas dari fungsi hukum itu sendiri, yaitu untuk melindungi kepentingan manusia. Dengan kata lain hukum memberikan perlindungan kepada manusia dalam memenuhi berbagai macam kepentingannya, dengan syarat manusia juga harus melindungi kepentingan orang lain. Suatu ketentuan hukum mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Menjamin kepastian hukum bagi setiap orang di dalam masyarakat. 2) Menjamin ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan, kemakmuran, kebahagiaan dan kebenaran. 3) Menjaga jangan sampai terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam pergaulan masyarakat.

perlindungan hukum sebagai segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum serta memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warga negara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Dengan demikian, suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut; a). Adanya perlindungan dari pemerintah kepada warganya. b). Jaminan kepastian hukum. c). Berkaitan dengan hak-hak warga negara. d). Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

Pada hakikatnya, setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Oleh karena itu, terdapat banyak macam perlindungan hukum. Dari sekian banyak jenis dan macam perlindungan hukum, terdapat beberapa di antaranya yang cukup populer dan telah akrab di telinga Anda, seperti perlindungan hukum terhadap konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU ini mengatur segala hal yang menjadi hak dan kewajiban antara produsen dan konsumen.Perlindungan hukum di Indonesia diberikan juga kepada hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Pengaturan mengenai hak atas kekayaan intelektual meliputi, hak cipta dan hak atas kekayaan industri. Pengaturan mengenai hak atas kekayaan intelektual tersebut telah dituangkan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, dan lain sebagainya.Perlindungan hukum diberikan juga kepada tersangka sebagai pihak yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum. Perlindungan hukum terhadap tersangka diberikan berkaitan dengan hak-hak tersangka yang harus dipenuhi agar sesuai dengan prosedur pemeriksaan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.Hukum dapat secara efektif menjalankan fungsinya untuk melindungi kepentingan manusia, apabila ditegakkan.

Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat terwujud apabila proses penegakan hukum dilaksanakan. Proses penegakan hukum merupakan salah satu upaya untuk menjadikan hukum sebagai pedoman dalam setiap perilaku masyarakat maupun aparat atau lembaga penegak hukum. Dengan kata lain, penegakan hukum merupakan upaya untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum dalam berbagai macam bidang kehidupan.Penegakan hukum merupakan syarat terwujudnya perlindungan hukum. Kepentingan setiap orang akan terlindungi apabila hukum yang mengaturnya dilaksanakan baik oleh masyarakat ataupun aparat penegak hukum. Misalnya, perlindungan hukum konsumen akan terwujud apabila undang-undang perlindungan konsumen dilaksanakan, hak cipta yang dimiliki oleh seseorang juga akan terlindungi apabila ketentuan mengenai hak cipta juga dilaksanakan. Begitu pula dengan kehidupan di sekolah, keluarga dan masyarakat akan tertib, aman dan tenteram apabila norma-norma berlaku di lingkungan tersebut dilaksanakan.

 

  1. Pentingnya Perlindungan dan Penegakan Hukum

Sebagai negara hukum, Indonesia wajib melaksanakan proses perlindungan dan penegakan hukum. Negara wajib melindungi warga negaranya dari berbagai macam ketidakadilan, ketidaknyamanan dan penyimpangan hukum lainnya. Selain itu, negara mempunyai kekuasaan untuk memaksa seluruh warga negaranya untuk melaksanakan semua ketentuan-ketentuan yang berlaku.Perlindungan dan penegakan hukum sangat penting dilakukan karena dapat mewujudkan hal-hal berikut:

(a). Tegaknya supremasi hukumSupremasi hukum bermakna bahwa hukum mempunyai kekuasaan mutlak dalam mengatur pergaulan manusia dalam berbagai macam kehidupan. Dengan kata lain, semua tindakan warga negara maupun pemerintahan selalu berlandaskan pada hukum yang berlaku. Tegaknya supremasi hukum tidak akan terwujud apabila aturan-aturan yang berlaku tidak ditegakkan baik oleh masyarakat maupun aparat penegak hukum.

(b). Tegaknya keadilanTujuan utama hukum adalah mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara. Setiap warga negara dapat menikmati haknya dan melaksanakan kewajibannya merupakan wujud dari keadilan tersebut. Hal itu dapat terwujud apabila aturan-aturan ditegakkan.

(c). Mewujudkan perdamaian dalam kehidupan di masyarakatKehidupan yang diwarnai suasana yang damai merupakan harapan setiap orang. Perdamaian akan terwujud apabila setiap orang merasa dilindungi dalam segala bidang kehidupan. Hal itu akan terwujud apabila aturan-aturan yang berlaku dilaksanakan.

Perlindungan dan penegakan hukum tidak akan terwujud apabila anggota masyarakat tidak mempunyai kesadaran hukum. Anda tentu saja harus mempunyai kesadaran hukum yang tinggi yang tercermin dari pengetahuan dan pemahaman yang luasa terhadap ketentuan yang berlaku, serta selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku.

B. Peran Lembaga Penegak Hukum dalam Menjamin Keadilan dan Kedamaian

  1. Peran Kepolisian Republik Indonesia (Polri)

Kepolisian Republik Indonesia atau yang sering disingkat Polri merupakan lembaga negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Selain itu, dalam bidang penegakan hukum khususnya yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana sebagaimana yang di atur dalam KUHAP, Polri sebagai penyidik utama yang menangani setiap kejahatan secara umum dalam rangka menciptakan keamanan dalam negeri, Pasal 16 Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, telah menetapkan kewenangan sebagai berikut:

  1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
  2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan.
  3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
  4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
  5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
  6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
  7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
  8. Mengadakan penghentian penyidikan.
  9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
  10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.
  11. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum.
  12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan dengan syarat sebagai berikut:1) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;2) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;3) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;4) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan 5) menghormati hak asasi manusia.

 

  1. Peran Kejaksaan Republik Indonesia

Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Penuntutan merupakan tindakan jaksa untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Pelaku pelanggaran pidana yang akan dituntut adalah yang benar bersalah dan telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan dengan didukung oleh barang bukti yang cukup dan didukung oleh minimal 2 (dua) orang saksi. Keberadaan Kejaksaan Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Berdasarkan undang-undang tersebut, kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Adapun yang menjadi tugas dan wewenang Kejaksaan dikelompokkan menjadi tiga bidang, sebagai berikut;

  1. Di Bidang Pidana

1) Melakukan penuntutan.

2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.

4) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

 

  1. Di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara

Kejaksaan, dengan kuasa khusus, dapat bertindak, baik di dalam maupun di luar pengadilan, untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

 

  1. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum

1) Peningkatan kesadaran hukum masyarakat.

2) Pengamanan kebijakan penegakan hukum.

3) Pengawasan peredaran barang cetakan.

4) Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.

5) Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.

6) Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

 

Untuk mengefektifkan perannya, lembaga kejaksaan di Indonesia memiliki tiga tingkatan, yaitu:1. Kejaksaan Agung di tingkat pusat yang dipimpin oleh seorang Jaksa Agung.2. Kejaksaan Tinggi di tingkat provinsi yang dipimpin oleh seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati).3. Kejaksaan Negeri yang berada di tingkat kabupaten/kota yang dipimpin oleh seorang Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari).

  1. Peran Hakim sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman

Di Indonesia, perwujudan kekuasaan kehakiman diatur sepenuhnya dalam Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan undang-undang tersebut, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Lembaga-lembaga tersebut berperan sebagai penegak keadilan, dan dibersihkan dari setiap intervensi baik dari lembaga legislatif, eksekutif maupun lembaga lainnya. Kekuasaan kehakiman yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga tersebut dilaksanakan oleh hakim.Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Mengadili merupakan serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara hukum berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sebuah sidang pengadilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan serta kebenaran, hakim diberi kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. Dengan kata lain, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan lain dalam memutuskan perkara. Apabila hakim mendapatkan pengaruh dari pihak lain dalam memutuskan perkara, cenderung keputusan hakim itu tidak adil, yang pada akhirnya akan meresahkan masyarakat, serta wibawa hukum dan hakim akan pudar. Menurut ketentuan Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim berdasarkan jenis lembaga peradilannya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok sebagai berikut; (a). Hakim pada Mahkamah Agung yang disebut dengan Hakim Agung. (b). Hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, yaitu dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. (c). Hakim pada Mahkamah Konstitusi yang disebut dengan Hakim Konstitusi. Setiap hakim melaksanakan proses peradilan yang dilaksanakan di sebuah tempat yang dinamakan pengadilan. Dengan demikian, terdapat perbedaan antara konsep peradilan pengadilan. Peradilan menunjuk pada proses mengadili perkara sesuai dengan kategori perkara yang diselesaikan. Pengadilan menunjuk pada tempat untuk mengadili perkara atau tempat untuk melaksanakan proses peradilan guna menegakkan hukum.

Pengadilan secara umum mempunyai tugas untuk mengadili perkara menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang. Pengadilan wajib memeriksa dan mengadili setiap perkara peradilan yang masuk.

  1. Peran Advokat dalam Penegakan Hukum

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Jasa hukum yang diberikan berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, membela, mendampingi, dan melakukan tindakan hukum. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum.

Keberadaan advokat sebagai salah satu penegak hukum diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Melalui UU ini, setiap orang yang memenuhi persyaratan dapat menjadi seorang advokat. Adapun persyaratan untuk menjadi advokat di Indonesia diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yaitu:a. warga NRI;b. bertempat tinggal di Indonesia;c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus-menerus pada kantor advokat;h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; sertai. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.

Kewajiban yang harus dipatuhi oleh seorang advokat di antaranya adalah sebagai berikut.a. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarangmembedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.b. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.c. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.d. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.e. Advokat yang menjadi pejabat negara tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan.

  1. Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Komisi Pemberantasan Korupsi disingkat KPK adalah sebuah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tujuan dibentuknya KPK adalah untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi. Untuk mencapai tujuan tersebut, KPK mempunyai tugas sebagai berikut. (a). Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. (b). Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. (c). Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. (d). Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. (e). Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Selain memiliki tugas tersebut, komisi ini memiliki beberapa wewenang sebagai berikut. (1) Mengoordinasi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. (2) Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi. (3) Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait. (4) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindakan korupsi. (5) Meminta laporan instansi terkait pencegahan tindak pidana korupsi.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya itu, KPK perpedoman pada asas sebagai berikut. (1) Kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK. (2). Keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya. (3). Akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4). Kepentingan umum, yakni asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. (5). Proporsionalitas, yakni asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban KPK.

Tugas Siswa: Buatlah kliping mengenai pemberitaan yang berkaitan dengan peran lembaga-lembaga penegak hukum. Kliping yang dibuat minimal memuat lima buah artikel atau berita yang berkaitan dengan hal tersebut. Kemudian, analisis dua buah artikel atau berita yang Anda anggap menarik.

C. Dinamika Pelanggaran Hukum

  1. Berbagai Kasus Pelanggaran Hukum

Anda tentunya pernah mendengar peristiwa pembunuhan dan juga perampokan yang terjadi di suatu daerah. Anda juga tentunya pernah melihat di televisi seorang pejabat negara ditangkap karena melakukan korupsi. Nah, pembunuhan, perampokan, dan korupsi merupakan sebagian contoh dari pelanggaran hukum. Apa sebenarnya pelanggaran hukum itu? Mengapa terjadi pelanggaran hukum? Pelanggaran hukum disebut juga perbuatan melawan hukum, yaitu tindakan seseorang yang tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturan yang berlaku. Dengan kata lain, pelanggaran hukum merupakan pengingkaran terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh peraturan atau hukum yang berlaku, misalnya kasus pembunuhan merupakan pengingkaran terhadap kewajiban untuk menghormati hak hidup orang lain. Pelanggaran terhadap satu ketentuan hukum pada hakikatnya merupakan pelanggaran terhadap: (1). aturan agama; (2). dasar negara; (3). konstitusi negara; dan (4). norma-norma sosial lainnya.

Pelanggaran hukum merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum. Ketidakpatuhan terhadap hukum dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: (a). pelanggaran hukum oleh si pelanggar sudah dianggap sebagai kebiasaan; (b). hukum yang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kehidupan. Saat ini, kita sering melihat berbagai pelanggaran hukum terjadi di negara ini. Hampir setiap hari, kita mendapatkan informasi mengenai terjadinya tindakan melawan hukum baik yang dilakukan oleh masyarakat ataupun oleh aparat penegak hukum sendiri. Berikut ini contoh perilaku yang bertentangan dengan aturan yang dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.

  1. Dalam lingkungan keluarga, di antaranya:

1) mengabaikan perintah orang tua;

2) mengganggu kakak atau adik yang sedang belajar;

3) ibadah tidak tepat waktu;

4) menonton tayangan yang tidak boleh ditonton oleh anak-anak;

5) nonton tv sampai larut malam; dan

6) bangun kesiangan.

  1. Dalam lingkungan sekolah, di antaranya

1) menyontek ketika ulangan;

2) datang ke sekolah terlambat;

3) bolos mengikuti pelajaran;

4) tidak memperhatikan penjelasan guru; dan

5) berpakaian tidak rapi dan tidak sesuai dengan yang ditentukan sekolah.

  1. Dalam lingkungan masyarakat, di antaranya:

1) mangkir dari tugas ronda malam;

2) tidak mengikuti kerja bakti dengan alasan yang tidak jelas;

3) main hakim sendiri;

4) mengonsumsi obat-obat terlarang;

5) melakukan tindakan diskriminasi kepada orang lain;

6) melakukan perjudian; dan

7) membuang sampah sembarangan.

  1. Dalam lingkungan bangsa dan negara, di antaranya:

1) tidak memiliki KTP;

2) tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas;

3) melakukan tindak pidana seperti pembunuhan, perampokan, penggelapan, pengedaran uang palsu, pembajakan karya orang lain dan sebagainya;

4) melakukan aksi teror terhadap alat-alat kelengkapan negara;

5) tidak berpartisipasi pada kegiatan pemilihan umum; dan

6) merusak fasilitas umum.

  1. Macam-Macam Sanksi atas Pelanggaran Hukum.

Sanksi norma hukum adalah tegas dan nyata. Hal tersebut mengandung pengertian sebagai berikut.

  • Tegas berarti adanya aturan yang telah dibuat secara material telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya, hukum pidana mengenai sanksi diatur dalam Pasal 10 KUHP. Dalam pasal tersebut, ditegaskan bahwa sanksi pidana berbentuk hukuman yang mencakup:(1) Hukuman pokok, yang terdiri atas:a) hukuman mati; danb) hukuman penjara yang terdiri atas hukuman seumur hidup dan hukuman sementara waktu (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya 1 tahun).(2) Hukuman tambahan, yang terdiri atas: a) pencabutan hak-hak tertentu;b) perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu; danc) pengumuman keputusan hakim.
  • Nyata berarti adanya aturan yang secara material telah ditetapkan kadar hukuman berdasarkan perbuatan yang dilanggarnya. Contoh: Pasal 338 KUHP, menyebutkan “barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.Sanksi hukum diberikan oleh negara, melalui lembaga-lembaga peradilan, Sanksi sosial diberikan oleh masyarakat, misalnya dengan cemoohan, dikucilkan dari pergaulan, bahkan yang paling berat diusir dari lingkungan masyarakat setempat. Jika sanksi hukum maupun sanksi sosial tidak juga mampu mencegah orang dari perbuatan melanggar aturan, ada satu jenis sanksi lain, yakni sanksi psikologis. Sanksi psikologis dirasakan dalam batin kita sendiri. Jika seseorang melakukan pelanggaran terhadap peraturan, tentu saja di dalam batinnya ia merasa bersalah. Selama hidupnya, ia akan dibayang-bayangi oleh kesalahannya itu. Hal ini akan sangat membebani jiwa dan pikiran kita. Sanksi inilah yang merupakan gerbang terakhir yang dapat mencegah seseorang melakukan pelanggaran terhadap aturan.
  1. Partisipasi dalam Perlindungan dan Penegakan Hukum

Setelah Anda menganalisis berbagai macam kasus pelanggaran hukum dan memahami sanksi atas pelanggaran hukum yang dilakukan, tentu saja sekarang keyakinan Anda akan pentingnya perlindungan dan penegakan hukum makin tinggi. Nah, keyakinan tersebut harus dibuktikan, salah satunya dengan berpartisipasi dalam proses perlindungan dan penegakan hukum. Wujud dari partisipasi tersebut adalah dengan menampilkan perilaku yang mencerminkan ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum.Ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum yang berlaku merupakan konsep nyata dalam diri seseorang yang diwujudkan dalam perilaku yang sesuai dengan sistem hukum yang berlaku. Tingkat kepatuhan hukum yang diperlihatkan oleh seorang warga negara, secara langsung menunjukkan tingkat kesadaran hukum yang dimilikinya. Kepatuhan hukum mengandung arti bahwa seseorang memiliki kesadaran untuk: (a). memahami dan menggunakan peraturan perundangan yang berlaku; (b). mempertahankan tertib hukum yang ada; dan (c). menegakkan kepastian hukum. Adapun ciri-ciri seseorang yang berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku dapat dilihat dari perilaku yang diperbuatnya: (a). disenangi oleh masyarakat pada umumnya; (b). tidak menimbulkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain; (c). tidak menyinggung perasaan orang lain; (d). menciptakan keselarasan; (e). mencerminkan sikap sadar hukum; (f). mencerminkan kepatuhan terhadap hukum.

Perilaku yang mencerminkan sikap patuh terhadap hukum harus kita tampilkan dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara sebagai bentuk perwujudan partisipasi Anda dalam proses penegakan dan perlindungan hukum. Berikut ini contoh perilaku yang mencerminkan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku:

  1. Dalam Kehidupan di Lingkungan Keluarga

1) Mematuhi perintah orang tua.

2) Ibadah tepat waktu.

3) Menghormati anggota keluarga yang lain seperti ayah, ibu, kakak, adik dan sebagainya.

4) Melaksanakan aturan yang dibuat dan disepakati keluarga.

  1. b) Dalam kehidupan di Lingkungan Sekolah

1) Menghormati kepala sekolah, guru dan karyawan lainnya.

2) Memakai pakaian seragam yang telah ditentukan.

3) Tidak menyontek ketika ulangan.

4) Memperhatikan penjelasan guru.

5) Mengikuti pelajaran sesuai dengan jadwal yang berlaku.

  1. c) Dalam Kehidupan di Lingkungan Masyarakat
  • Melaksanakan setiap norma yang berlaku di masyarakat
  • Bertugas Ronda.
  • Ikut serta dalam kegiatan kerja bakti.
  • Menghormati keberadaan tetangga disekitar rumah.
  • Tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan kekacauan di masyarakat seperti tawuran, judi, mabuk-mabukkan dan sebagainya;
  • Membayar iuran warga.

 

  1. d) Dalam kehidupan di Lingkungan Bangsa dan Negara.

1) Bersikap tertib ketika berlalu lintas di jalan raya.

2) Memiliki KTP.

3) Memiliki SIM.

4) Ikut serta dalam kegiatan pemilihan umum.

5) Membayar pajak.

6) Membayar retribusi parker.

“Yakin Usaha Sampai”

Mas’ud Umar Atanggae